Bisnis.com, JAKARTA— Peralihan pola konsumsi konvesional menjadi e-commerce atau perdagangan online disinyalir menjadi penyebab lemahnya daya beli.
Kendati, dugaan itu ditepis oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution yang mengatakan bahwa e-commerce baru berkembang di Indonesia, sehingga diyakini jumlahnya belum sebanyak di negara lain.
Menurutnya, lesunya konsumsi pada akhir kuartal II disebabkan karena banyaknya konsumen yang menahan diri untuk membelanjakan uangnya dan bukan karena adanya e-commerce.
“Gini ya, mungkin itu [e-commerce] ada, tapi saya gak yakin banyak. Saya lebih yakin tahun ini, [dikarenakan] akhir Juni sudah mulai lebaran sehingga orang menunggu mau pulang kampung, dan dia menunda konsumsi. Tahun lalu itu lebaran Juli, coba deh bandingin, mirip. Tapi kalau ini dibandingkan, Juni - Juni ya gak cocok, karenaada faktor lebaran. Lebih besar itu potensinya,” ungkap Darmin belum lama ini.
Namun, Darmin mengakui jika perkembangan e-commerce akhir-akhir ini memang cukup pesat sehingga perlu ada langka lebih lanjut untuk menangkap potensi dari sektor perdagangan online tersebut.
“E-commerce itu banyak yang punya sendiri-sendiri dan belum masuk di intinya (item yang dibahas) BI. National payment gateway-nya belum berkembang, jadi belum terlihat transaksi digital. Jadi national payment gateway biar dikembangkan sama Bank Indonesia [terlebih dahulu],”pungkasnya.
Senada, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira juga mengakui jika pesatnya e-commerce bukan jadi alasan dibalik lemahnya konsumsi, seperti yang dipaparkan dalam data BPS.
Menurutnya, meski e-commerce berkembang pesat namun peran perdagangan online itu hanya memberi sumbangsih 1% dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Karena porsi toko online masih dibawah 1% dibandingkan total ritel nasional. Kalau dibilang shifting sepertinya ga bisa digeneralisir secara nasional,” kata Bhima kepada Bisnis.