Bisnis.com, BANDUNG - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta pemerintah memberikan kepastian terhadap persediaan garam bagi kepentingan industri tekstil di dalam negeri.
Pasalnya, kran impor yang dibuka pemerintah sejauh ini peruntukan bagi industri konsumsi dan aneka pangan.
Sekjen API Kevin Hartanto mengatakan, industri tekstil pemakai garam tidaklah semuanya, hanya yang terdapat proses pencelupan.
Sedangkan untuk pemintalan dan tenun tidak membutuhkannya. Dengan demikian, kebutuhan untuk masing-masing industri pun berbeda-beda.
"Ada yang cukup 10 ton dalam sebulan bahkan ada yang lebih. Selama ini suplai dari domestik atau ada juga supllier importir," katanya, kepada Bisnis, Jumat (4/8/2017).
Menurutnya, ada dua hal penyebab garam langka saat ini yakni persediaan di dalam negeri yang memang langka akibat anomali cuaca dan importir yang diduga melakukan praktik kartel. Sehingga mereka diberi sanksi oleh pemerintah untuk tidak mengimpor garam.
Baca Juga
Dampaknya, garam untuk konsumsi maupun industri saat ini melonjak tajam. Sekalipun garam tidak memakan ongkos produksi yang tinggi, tapi apabila zat tersebut tidak ada, maka industri terkait tidak bisa berproduksi. Untuk itu, jauh-jauh hari industri telah menyuarakan kegelisahan mereka.
"Persediaan garam harus mencukupi untuk satu bulan ke depan. Untuk mempertahankan stok garam berapapun akan dibeli termasuk sekarang yang telah melonjak empat kali lipat," ucapnya.
Saat ini, yang dikhawatirkannya justru akan terjadi tarik menarik kebutuhan antara indusri rumahan untuk pengolahan garam konsumsi dan industri aneka pangan termasuk industri tekstil dan lain sebagainya. Untuk itu, dirinya meminta pemerintah melakukan kontrol agar tidak terjadi kericuhan di lapangan.
"Pemerintah hanya menunjuk PT Garam yang berhak mengimpor garam. Kondisi ini sudah tidak wajar. Pokoknya jangan sampai ada lagi praktik kartel sehingga merugikan banyak pihak," ucapnya.
Soal harga, kata Kevin, pihaknya tidak mempermasalahkan, walaupun ketika impor, harga garam bisa saja lebih tinggi. Pengusaha, lanjut dia, lebih tenang bila suplai garam di Indonesia cukup. Pengusaha justru lebih khawatir bila proses produksi berhenti bila tidak ada garam.
Ketua Asosiasi Petani Garam Muhammad Taufik meminta pemerintah untuk mengambil sikap. Sebab, sejak anomali cuaca yang terjadi pada tahun lalu sontak mempengaruhi jumlah dan stok garam. Mengenai kegagalan panen yang dialami petani garam, lebih disebabkan karena pola penanganan yang masih tradisional.
"Petani harus mulai beralih untuk menggunakan teknologi agar hasil panen lebih efektif lagi dan hasilnya maksimal," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga harus menjamin harga garam ditingkat petani tidak anjlok. Tentu saja, harus ada aturan yang mengaturnya. Memang diakuinya, pemerintah pernah menetapkan hara patokan pemerintah untuk garam konsumsi kualitas I sebesar Rp750 per kg dan kualitas Rp550 per kg.
"Setelah Peraturan Menteri Perdagangan No 125/2-15 tentang impor garam diberlakukan, aturan tersebut tidak berlaku lagi," ujarnya.
Sekjek Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara menambahkan, pihaknya tidak mempermasalahkan siapa yang mengimpor garam. Karena terpenting garam untuk bahan baku industri tersedia.
"Termasuk soal harga kami siap mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah. Jangan sampai seperti sekarang kami pengusaha takut kalau beli garam nanti malah ditangkap satgas," paparnya.