Bisnis.com, JAKARTA - Besok, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan 58 independent power producer akan menandatangani perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA). Namun, IPP merasa dipaksa menandatangani perjanjian dengan menggunakan harga jual listrik yang dinilai dapat merugikan pengembang.
Tarif listrik itu diatur pada Permen 12/2017 tentang Pemanfataan Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam aturan ini harga listrik yang dibeli PT Perusahaaan Listrik Negara (Persero) hanya 85% dari biaya pokok produksi setempat. Pengembang mengkhawatirkan hal ini karena terlalu rendah sehingga tidak akan memberi untung, bahkan bisa buntung.
Dari informasi yang didapat Bisnis, banyak IPP yang belum mau memandatangani kontrak. Alasannya, pengembang masih menunggu regulasi yang baru, mengingat Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar berjanji akan mengevaluasi dan merevisi.
Namun, IPP merasa dipaksa oleh PLN untuk menandatangani PJBL tersebut karena beredar pengumuman melalui pesan di grup whatsapp dari pihak PLN. Pesan itu dikirim oleh seorang Pejabat Analyst Pengadaan PLN Pusat.
Dalam pesan whatsapp di grup itu dituliskan, "kepada rekan-rekan pengembang. Menyempaikan pesan dari Bu Nicke [Direktur Pengadaan PLN] bahwa acara penandatanganan PPA pada hari Rabu nanti hanya ada 1 tahap, tdk [tidak] ada tahap 2. Kalau tidak bersedia ttd [tanda tangan] PPA berarti mundur, dan akan dicoret. Tks."
Ketua Asosiasi Pengusaha Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni menanggapi, wajar saja jika pengembamg masih belum mau menandatangani PPA, jika masih menggunakan tarif Permen 12/2017.
"PLN akan menerapkan harga sesuai dengan Permen ESDM 12/2017. Kita dipaksa menandatangani agar kesannya Permen ini masih menguntungkan investor, seperti yang disampaikan melalui watsapp," katanya kepada bisnis, Senin (31/7).
Direktur PT Bersaudara ini menjelaskan, posisi investor semakin sulit karena pengembang sudah berinvestasi seperti membeli aset tanah dan lainnya. IPP tidak mugkin menandatangani perjanjian jual beli yang akan merugikan.
"Kalau tidak, kita harus mundur. Sementara, kita sudah berinvestasi. Padahal, Permen 12/2017 ini juga akan direvisi, nantinya," katanya.
Pemerintah sebenarnya telah mengubah Permen 12/2017 tentang Pemanfataan Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menjadi Permen 43/2017. Menurut Riza, PLN seharusnya menggunakan aturan teranyar itu atau menggunakan harga yang sesuai kesepakatan bersama dan bukan memaksa.
Mungkin, masih teringat dibenak pembaca bahwa Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar berjanji akan merevisi sejumlah aturan yang memberatkan investor di bidang energi terbarukan. Hal itu diucapkannya di depan puluhan anggota asosiasi pengembang swasta dan Badan Usaha Milik Negara, pekan lalu.
Sebelumnya, hal ini menjadi sorotan Presiden Joko Widodo dan meminta beberapa kementerian untuk merevisi aturan yang menghambat investasi.
"Sedang kita bahas aturannya, sebaiknya seperti apa. Pada intinya adalah supaya iklim usaha bisa kondusif, ini tidak dalam rangka memperpanjang birokrasi," janji Arcandra.
Sementara itu, Direktur Pengadaan PLN Nicke Widyawati mengatakan pihaknya akan menandatangani kontrak jual beli listrik dengan 58 IPP menggunakan tarif listrik sesuai Permen 12/2017.
"Perjanjian ini sudah disepakati melalui Momerandum of Understanding pada April lalu. Artinya sebelum Wamen berencana merevisi aturan harga jual listrik," kata Nicke menjawab bisnis.
Terkait adanya kesan pemaksaan yang beredar di grup whatsapp tersebut, Nicke membantah. "Tidak ada pemaksaan dan intimidasi pada perjanjian itu."
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menjelaskan, 58 perusahaan swasta tersebut akan membangun pembangkit listrik tenaga air, pembangkit listrik tenaga biomassa. Selain itu, ada enam pembangkit listrik tenaga surya yang akan menandatangani. Perusahaan itu akan menghasilkan daya listrik mencapai 400 megawatt.
"Kita ingin buktikan bahwa ini menarik bagi investor," katanya.
Jonan menambahkan, penentuan tarif perjanjian jual beli itu akan menyesuaikan teknologi dan pengembangan tarif internasional. "Tarifnya tidak terlalu murah dan tidak terlalu tinggi."