Bisnis.com, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron berpendapat, regulasi yang mengatur perberasan belum mengatur penuh terhadap aspek hilir. Sebaliknya, regulasi yang ada sebatas mengatur ketentuan harga pembelian pemerintah melalui Inpres No 5/2015 dan harga acuan pembelian di tingkat petani melalui Permendag No 27/2017 yang diperbarui melalui Permendag No 47/2017.
Hal ini disampaikan menyusul langkah penyegelan dan penggerebekan oleh Satgas Pangan terhadap PT Indo Beras Unggul karena dugaan menjual beras medium bersubsidi seharga beras premium.
Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian Ana Astrid menegaskan beras subsidi tersebut merupakan beras yang proses produksinya memperoleh subsidi benih Rp1,3 triliun, subsidi pupuk Rp31,2 triliun, dan bantuan sarana prasana bagi petani.
"Di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera untuk rumah tangga sasaran sekitar Rp19,8 triliun yang distribusinya melalui Bulog dan tidak diperjualbelikan di pasar," tegasnya dalam keterangan resmi pada Sabtu (22/7/2017).
Herman berpendapat, jika beras subsidi yang disalahgunakan merupakan alokasi rastra, tentu melanggar hukum.
Namun, jika beras subsidi yang dimaksud merupakan bantuan terhadap petani dalam bentuk subsidi pupuk, benih, dan bantuan produksi lainnya, maka belum ada regulasi atas hasil produksinya.
Baca Juga
Subsidi input diberikan agar usaha petani lebih kompetitif, produktif, dan petani mendapatkan keuntungan. Sebab, minimnya kepemilikan lahan membuat biaya produksi tinggi.
Adapun, regulasi yang ada selama ini hanya mengatur ketentuan harga pembelian pemerintah melalui Inpres No 5/2015 yang menjadi acuan bagi Bulog guna menyerap gabah petani. Regulasi lain yakni harga acuan pembelian di tingkat petani melalui Permendag No 27/2017.
Menurutnya, belum ada peraturan yang mengikat terhadap aspek hilirnya. Perlu dibuat aturan turunan yang mengatur aspek hilir lebih lanjut.
"Jika yang dimaksud adalah petani yang mendapat subsidi input, maka belum ada aturan atas hasil produksinya. Termasuk harus dijual ke siapa dengan ketentuan harga tertentu, hal tersebut belum ada aturannya," kata dia melalui pesan singkat, Minggu (23/7/2017).
Meski demikian, Herman mengapresiasi langkah pemerintah terkait penegakan hukum di bidang pangan seperti tertuang dalam UU No 18/2012 tentang Pangan. Jika terbukti terjadi pelanggaran, maka temuan ini perlu diusut tuntas.
"PT IBU merupakan perusahaan di bidang perberasan dengan kapasitas produksi mencapai satu juta ton. Ini merupakan perusahaan swasta terbesar setelah Perum Bulog yang memiliki kapasitas gudang 4 juta ton," imbuh dia.
Dia mengatakan, disparitas harga di tingkat pasar dan petani terlampau tinggi. Sementara, petani belum merasakan harga sebenarnya di pasar.
Herman juga mendorong pemerintah agar petani tidak hanya menjadi mesin produksi. Pemerintah perlu menggandeng mereka sebagai subyek penyedia pangan, terlibat dalam hasil produksi, hingga ke pasar. Dengan demikian, keuntungan dari tata niaga perberasan dapat menguntungkan petani.
Dia juga mendorong agar lembaga pangan nasional dapat segera terbentuk. Apalagi setelah Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian di Kementerian Pertanian dihapus, sehingga tidak ada yang fokus menangani pada aspek hilir petani.
"Sektor pertanian harus dijaga melalui regulasi yang memadai sebagai ruang usaha rakyat," kata dia.