Bisnis.com, JAKARTA - Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115) tengah merumuskan perubahan strategi penegakan hukum, yakni menjadi bersifat pencegahan.
Koordinator Satgas 115 Mas Achmad Santosa memaparkan penegakan hukum yang dipakai selama ini lebih bersifat pendekatan penjeraan (deterrent effect) alias pidana, seperti penangkapan, penenggelaman, dan peledakan kapal. Saat menggunakan pendekatan itu, kerusakan atau kerugian sudah terjadi di mana-mana.
Satgas akan beralih menggunakan pendekatan pencegahan menggunakan hukum administrasi, misalnya dengan pemantauan surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) secara tiga bulanan. Dengan pendekatan compliance (penataan) itu, maka penangkapan ikan secara berlebihan dapat dicegah.
"Ini yang ingin saya usulkan kepada Pak Irjen (Irjen Kementerian Kelautan dan Perikanan)," kata Koordinator Satgas 115 Mas Achmad Santosa dalam Rakornas Satgas 115, Rabu malam (12/7/2017).
Dari sisi biaya, penegakan hukum administrasi lebih efisien. Berdasarkan perhitungan penegakan di darat, Satgas mengestimasi biaya pengawasan satu unit per perusahaan hanya berkisar Rp9 juta-Rp10 juta. Sementara itu, penegakan hukum pidana mencapai Rp250 juta per unit per kasus.
"Apalagi pakai perhitungan laut, pasti sangat mahal," kata Achmad.
Sementara itu, selama Januari-Juni, jumlah kapal perikanan ilegal yang ditangkap Satgas 294 unit. Sebagian besar kapal yang ditangkap berberbendera Indonesia, yakni mencapai 165 unit. Berada di urutan berikutnya adalah kapal berbendera Vietnam 108 unit, Malaysia 12 unit, Filipina 8 unit, dan Taiwan 1 unit.
Adapun jumlah kapal yang ditenggelamkan selama Oktober 2014-April 2017 sebanyak 317 unit. Kapal Vietnam yang ditenggelamkan mencapai 144 unit; disusul Filipina 76 unit; Malaysia 50 unit; Thailand dan Indonesia masing-masing 21 unit; Papua Nugini dua unit; China, Belize, dan tanpa negara masing-masing satu unit.