Bisnis.com, JAKARTA — Meski perekonomian dunia mulai membaik, tetapi pemerintah tetap mewaspadai sejumlah faktor eksternal yang menjadi tantangan tersendiri dalam prospek ekonomi pada semester II/2017.
"Pasalnya, tantangan tersebut akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujar Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Senin (10/7/2017).
Darmin mengakui IMF telah menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,4% menjadi 3,5%. “Naiknya sedikit sekali, meski perbaikan ekonomi dunia terjadi, tetapi ada beberapa risiko yang memungkinkan perbaikan itu tidak berlanjut atau tidak sebesar yang terjadi akhir-akhir ini,” ujar Darmin.
Risiko tersebut yakni proteksionisme perdagangan yang tengah mencuat di dunia dan perekonomian China yang sedang mengalami proses rebalancing.
“Amerika Serikat mulai meninggalkan Quantitative Easing sejak beberapa kuartal terakhir, maka dia pasti masih akan menaikkan Fed Rate. Dengan catatan di pihak lain Eropa dan Jepang masih melanjutkan Quantitative Easing,” imbuhnya.
Tak hanya itu, dampak dari geopolitik juga menjadi resiko yang harus dihadapi. Serta, dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa juga masih akan terjadi.
Semua itu mempengaruhi, meskipun sama dengan kecenderungan global. "Kami perkirakan ada perbaikan di perekonomian kita. Pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2017 sebesar 5,01%, membaik dibanding kuartal I-2016 ataupun kuartal I-2015. Ini menunjukan perekonomiannya sedikit membaik dan konsisten,” pungkasnya.
Selain yang dipaparkan oleh Darmin, ekonom Indef Abra Talattov mengatakan kenaikan fed rate pada semester II dan juga kenaikan penerbitan obligasi pemerintah di pasar global seperti obligasi AS, Jerman, Inggris & Jepang juga menjadi salah satu tantangan ekonomi Indonesia dimana hal itu akan berdampak pada naiknya imbal hasil obligasi Pemerintah.
“Akibatnya, Indonesia harus memperebutkan dana global tersebut dengan menawarkan imbal hasil yang menarik, artinya yield SBN akan naik,” terang Abra.
Menurutnya, naiknya penerbitan SBN domestik tentu akan menyedot likuiditas terutama di sektor perbankan.
Di tengah pertumbuhan kredit yang lambat yakni tumbuh 8,6% (yoy) per Mei 2017, potensi pengetatan likuiditas pada semester II akan memicu kenaikan suku bunga kredit & menekan ekspansi kredit.
Dengan demikian, terangnya, target pertumbuhan ekonomi 5,2% semakin sukar dicapai.