Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mengaku sudah menyiapkan benih unggul ikan kakap putih untuk proyek budidaya perikanan laut lepas pantai tahun ini.
Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan ribuan induk kakap putih unggul kini berada di balai-balai perikanan budidaya laut, seperti Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, BPBL Ambon, BPBL Lombok, BPBL Situbondo, BPBL Lampung, dan BPBL Batam.
"Seperti di Ambon, mereka adalah induk-induk yang dulu dari Australia. Di Batam juga kami datangkan dari Australia. Dalam waktu dekat, kami juga akan beli induk yang sudah jadi dari Australia," katanya, Rabu (17/5/2017).
Indukan yang dipakai pun, lanjutnya, hanya 30% dari hasil pemuliaan (selective breeding), yakni indukan yang memiliki pertumbuhan tinggi. Dengan demikian, hasil panen diyakini menggembirakan dengan bobot ikan di atas 8 ons per ekor.
Slamet menuturkan proyek keramba jaring apung (KJA) offshore senilai Rp42,1 miliar itu sedang tahap lelang. Dia memperkirakan konstruksi dapat dilakukan Juni, tebar benih November, dan panen pada paruh kedua 2018.
KKP tahun ini menjadikan budidaya ikan laut sebagai program unggulan perikanan budidaya. Sejalan dengan itu, kementerian itu membangun tiga KJA offshore di Sabang, Pangandaran, dan Karimunjawa, senilai Rp42,1 miliar. Sebanyak 3,6 juta ekor benih ikan kakap putih (barramundi) akan ditebar di tiga KJA tersebut.
KKP menargetkan produksi 2.415 ton dari ketiga Iokasi atau setara dengan Rp169,2 miliar per tahun. Barramundi menjadi komoditas yang dipilih karena memiliki potensi pasar ekspor yang luas sebagaimana ikan kerapu yang diminati pasar luar negeri.
Merespons kebijakan itu, Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) sempat memperkirakan budidaya ikan laut yang dirintis pemerintah tahun ini gagal karena tak menggunakan benih unggul.
Ketua Umum Hipilindo Effendi mengungkapkan bibit kakap putih unggul hingga kini belum ada di seluruh balai benih di Indonesia sehingga KKP kemungkinan sekadar menggunakan bibit nonunggul untuk mengisi KJA.
Penggunaan bibit nonunggul itu, kata dia, akan menimbulkan biaya produksi tinggi sebab kebutuhan pakan mencapai 2 kg untuk menghasilkan berat ikan 1 kg. Sementara itu, jika menggunakan bibit unggul, feed convertion ratio-nya (FCR) hanya 1,1-1,2 alias untuk menghasilkan 1 kg ikan, hanya butuh 1,1-1,2 kg pakan.
Secara sederhana, biaya membudidayakan bibit nonunggul mencapai Rp45.000 per kg, sedangkan bibit unggul hanya Rp27.000 per kg.
Selain itu, dari sisi waktu pembudidayaan, bibit nonunggul membutuhkan lebih lama, yakni dua tahun untuk mencapai berat siap panen 2 kg per ekor. Sementara itu, pembudidayaan benih unggul hanya membutuhkan 1,25 tahun untuk mencapai berat siap panen.
"Dasar akuakultur adalah bibit unggul. Kami yakin program ini gagal dari segi pasarnya sebab cost produksi pasti tinggi berhubung tidak memakai bibit unggul," katanya kepada Bisnis, Senin (8/5/2017).
Effendi menilai biaya produksi yang tinggi akan menyulitkan persaingan di pasar ekspor. Indonesia akan terseok jika berhadapan dengan Malaysia, Singapura, dan Vietnam, yang sudah mempunyai bibit unggul. Dengan kondisi ini, swasta akan sulit bergabung.
"Kalau pakai bibit rakyat untuk coba-coba bisa aja. Siapa yang mampu tanggung jawab kalau target tidak bisa di capai? Kalau menggunakan bibit barramundi yang kita punya, investor nasional tidak mungkin mau mengembangkan budidaya," ujarnya.
Hipilindo menyarankan agar KKP lebih dulu menciptakan bibit unggul dan vaksin.
Setelah bibit unggul dan vaksin tersedia serta mudah diperoleh, masyarakat akan bersemangat membudidayakan ikan laut.