Bisnis.com, DENPASAR – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sedang mengkaji adanya premi untuk Program Restrukturisasi Perbankan (PRP).
Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan menjelaskan wacana pengenaan premi PRP dilakukan karena nantinya neraca PRP akan dibedakan dengan neraca LPS, sehingga dana yang digalang dari perbankan untuk restrukturisasi bank gagal atau yang mengalami krisis melalui PRP tidak bisa disamakan dengan dana yang digalang untuk penjaminan.
“Tapi ini masih dalam kajian, masih dibahas bersama pemerintah dan DPR,” ujarnya dalam konferensi pers Seminar Nasional Peran Strategis BI dan LPS dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia, Kamis (4/5/2017).
Fauzi juga mengatakan masih ada beberapa wacana terkait pengenaan premi PRP itu a.l apakah premi akan dikenakan untuk semua perbankan termasuk BPR, atau BPR dikenakan premi 0% atau tidak dikenakan kewajiban tersebut, atau adanya grace period atau baru diterapkan setelah beberapa tahun.
“Ini masih menjadi wacana. Kami mengerti bank akan keberatan, tetapi di sisi lain kami juga harus menjalankan undang-undang,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Penjaminan dan Manajemen Risiko LPS Didik Madiyono menambahkan PRP diputuskan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi KKS dan diselenggarakan LPS. Hal tersebut juga tercantum dalam UU tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK)
PRP ini merupakan program yang diselenggarakan untuk menangani permasalahan perbankan yang memiliki risiko atau membahayakan perekonomian nasional.
Selain kontribusi dari industri perbankan, alternatif sumber pendanaan untuk program tersebut didapat dari tambahan modal oleh pemegang saham/pihak lain, perubahan utang tertentu menjadi modal; hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank yang ditangani, dan pinjmana yang diperoleh LPS dari pihak lain.
Dari pendapatan premi, perolehan premi penjaminan hingga akhir 2016 tercatat Rp9,44 triliun naik dari Rp9,01 triliun pada 2015. Adapun total aset hingga 2016 tercatat Rp72 triliun dengan cadangan penjaminan sebesar Rp55,16 triliun.
“Dana cadangan saat ini masih 1,3% dari total simpanan, sedangkan dalam UU No.24/2014 mengamanatkan target akumulasi dana cadangan penjaminan sebesar 2,5% dari total simpanan,” tuturnya.
Adapun jumlah bank yang dilikuidasi hingga kuartal I/2017 tercatat 79 bank dan bank yang telah berakhir likuidasinya sekitar 63 bank. “Sehingga masih ada outstanding 16 bank lagi yang sedang proses likuidasi.”
Total aset bank yang dilkuidasi tercatat Rp552 miliar, total simpanan bank yang dilikuidasi Rp1,51 triliun, persentase recovery dana penjaminan untuk bank yang berakhir likuidasi tercatat 31,7%.