Bisnis.com, JAKARTA - Aliansi Nelayan Tradisional menuntut perlindungan pemerintah dari dampak pelarangan alat tangkap cantrang.
Tuntutan itu disampaikan sehubungan dengan peringatan Hari Nelayan yang jatuh 6 April. Dalam aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kamis (6/4/2017), aliansi itu mengungkapkan masalah alih alat tangkap hingga kini belum selesai.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negaraa Republik Indonesia menjadi pemicu keresahan nelayan. Pasalnya, berbagai alat tangkap yang sebelumnya dapat digunakan, seperti arad, bondes, garuk, gernplo, dan cantrang, kini dilarang.
Kebijakan pelarangan, kata mereka, tidak dibarengi dengan solusi yang pasti dari pemerintah.
"Pemerintah terkesan gagap dengan dengan menistakan sejumlah mayoritas nelayan kecil yang menggunakan alat-alat yang dinyatakan terlarang hingga mencapai 6.993 kapal. Namun, pemerintah baru mendata untuk melakukan alih alat tangkap hanya 525 unit," ujar Marthin Hadiwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KTNI), salah satu organisasi yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Tradisional.
Pada saat yang sama, seremoni penenggelaman kapal tidak mengurangi aksi pencurian ikan oleh kapal asing maupun kapal berbendera Indonesia.
Pada 2015, proses hukum telah dilakukan terhadap 157 kapal ikan ilegal (84 kapal ikan asing dan 73 kapal ikan Indonesia) yang berujung pada penenggelaman 113 kapal asing dan 10 kapal bendera Indonesia.
Tahun berikutnya, pemerintah telah menangkap 151 kapal ikan ilegal (128 kapal ikan asing dan 23 kapal ikan Indonesia) yang 115 di antaranya ditenggelamkan.
"Ini menunjukkan upaya penyelesaian permasalahan pencurian ikan tidak dapat diselesaikan dengan sekadar penenggelaman kapal," tambah Marthin.
Aliansi juga menyoroti proyek reklamasi yang menyengsarakan nelayan kecil dan masyarakat pesisir. Reklamasi Teluk Jakarta misalnya, telah membuat pendapatan perempuan pengupas kerang di Cilincing menurun drastis.
Mengutip pernyataan KPK tahun lalu, setidaknya 28 titik reklamasi di Indonesiaa terindikasi melanggar ketentuan hukum dan prosedur. Pengadilan bahkan telah memutuskan reklamasi Teluk Jakarta sebagai proyek yang melanggar hukum dan sepatutnya dibatalkan.
Marthin menuturkan kasus perampasan ruang penghidupan nelayan terus terjadi, seperti maraknya konsesi tambang di lebih dari 18 wilayah pesisir, privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan pariwisata di lebih dari 20 wilayah pesisir, serta proyek utang konservasi laut yang menargetkan 20 juta hektare sampai dengan 2019.
"Proyek konservasi berbasis utang dalam praktiknya bukan hanya meminggirkan masyarakat, tapi juga merampas ruang hidup mereka yang sejatinya dilindungi oleh konsitusi," ujarnya.
Aliansi juga menyoroti kurangnya dukungan pemerintah terhadap perempuan nelayan. Selama 14 tahun umur Kementerian Kelautan dan Perikanan, kata Marthin, hingga kini belum ada pengakuan politik terhadap posisi dan peran perempuan nelayan.
Dalam UU No 7/2016, ujar dia, posisi perempuan masih dilekatkan sebagai bagian dari rumah tangga nelayan yang berarti menihilkan peran perempuan di sektor perikanan.
Dalam tataran kebijakan teknis, tidak ada upaya afirmasi, misalnya dalam proyek reklamasi, tidak pernah ada data terpilah gender atau pun analisis potensi dampak yang berbeda pada perempuan dan laki-laki.
Namun, saat dimintai tanggapan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti justru tak mengakui hari ini sebagai Hari Nelayan. KKP, kata dia, sedang mengajukan 21 Mei sebagai Hari Nelayan kepada Presiden Joko Widodo. "Bukan tanggal 6 (6 April). Jadi, tidak ada ucapan apa-apa," ujarnya.