Bisnis.com, BANDUNG - Apabila perkebunan teh rakyat ingin kembali bergairah karena harga jual yang menarik, sebaiknya pemerintah kembali melanjutkan program Gerakan Penyelamatan Agrobisnis Teh Nasional (GPATN).
Pasalnya, mayoritas perkebunan rakyat tidak memiliki bibit berkualitas yang bisa menunjang produktifitas teh.
Plt Direktur Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Luqman Erningpraja mengatakan, pangsa pasar teh nasional sebenarnya masih sangat menarik.
Masalahnya, selama ini banyak budidaya teh tidak sesuai ketentuan sehingga bisa menghasilkan teh yang berkualitas atau best agricultural practices.
"Tak sedikit petani, yang kurang hati-hati dalam memetik teh seperti daun tua yang terpetik sehingga grade turun. Kalau grade turun, harga juga rendah," katanya, kepada Bisnis, Rabu (5/4/2017).
Menurutnya, GPATN pernah dilakukan pemerintah pada 2014 silam. Masifnya gerakan penyelamatan perkebunan teh itu membuat kebutuhan terhadap bibit berkualias dan bersertifikat mengalami lonjakan hingga terjual 1.500 pohon dengan harga setiap batangnya mencapai Rp2.000.
Dalam satu hektar, bisa memuat 13.000 batang pohon. Dengan demikian, duit yang mesti dikeluarkan untuk pemenuhan restorasi tanaman teh itu terbilang tinggi. Sehingga wajar, apabila perkebunan teh rakyat kurang mampu dan GPATN bisa menjadi solusinya. PPTK menjadi satu-satunya institusi penghasil benih teh unggul bersertifikat di Indonesia.
"Untuk perkebunan rakyat bisa saja tidak mampu membeli benih bersertifikat yang dihasilkannya atau mereka tidak mau. Karena biasanya perkebunan rakyat berharap uluran dari pemerintah baik subsidi atau skema lainnya," ucapnya.
Pemerintah harus turun tangan dalam GPATN terutama untuk pemenuhan bibit yang baik. Tapi, bibit yang baik saja tidak cukup, karena akan percuma apabila tidak ditunjang dengan pemeliharaan yang baik pula.
"Nanti merana juga pada akhirnya kalau begitu. Kami optimis industri teh masih bagus selama ditunjuang kualitas teh yang bagus," ucapnya.
Selama ini, produktifitas teh rakyat masih rendah karena dibawah 1 ton/ha/tahun. Padahal, apa yang telah dilakukannya di perkebunan Simalungun, Sumatera Utara, produktifitas teh sudah diatas 5 ton/ha/tahun.
Mengenai harga, teh hasil produksinya termasuk kelas premium karena menjual produk dengan kualitas terbaik. Selain itu, pihaknya pun sudah mengarah kepada perkebunan organik lantaran tidak banyak menggunakan insektisida dan pestisida.
PPTK mampu menghasilkan aneka ragam teh mulai dari teh putih, hitam dan hijau. Tak hanya memiliki bibit, pihaknya pun memiliki pabrik pengolahan teh dengan kapasitas 25 ton/hari. Meski begitu, kemampuan pasokan teh dari lahan perkebunan teh di Gambung yang luasnya mencapai 400 ha baru 10 ton/hari.
"Memang belum sesuai kapasitas karena prouktifitas masih belum bagus lantaran sepanjang 2016 ada kekeringan dalam jangka panjang sehingga produktifitas pun turun. Tapi, tahun ini kemungkinan akan meningkat 10-15%," ucapnya.
Disinggung mengenai konsumen tetap untuk produk tehnya, Luqman mengungkapkan, pihaknya telah memiliki perjanjian jual beli dengan pihak swasta. Selanjutnya, pihak swasta tersebut mengekspornya. Untuk memenuhi tingginya permintaan pasar, pihaknya tidak hanya mengandalkan Gambung, tapi juga 72 ha di perkebunan Pasir Sarongge, Cianjur dan 100 ha di Simalungun.
Disingung mengenai komoditas kina, diakuinya memang agak terlambat dalam pengembangannya. Tapi, saat ini sudah ada perkebunan kina dengan luas lahan 20 ha. Disamping itu, pihaknya pun terus melakukan peremajaan tanaman.
"Tapi itu masih sedikit dan akan terus dinaikkan luasannya. Memang pasarnya dibandingkan teh sangat jauh lebih besar teh. Disamping itu penggunaan kina terbatas juga. Apalagi untuk dalam negeri," ucapnya.
Untuk pasar ekspor kina, sebetulnya ada terutama untuk memenuhi kebutuhan industri minuman ringan berkabonasi seperti Coca Cola untuk penguatan unsur pahit dalam minuman tersebut.
Menurutnya, kina hampir punah karena faktor ekonomis atau sepinya permintaan pasar. Sebelumnya, terutama di era Hindia Belanda, kebutuhan kina terbilang tinggi sebagai obat malaria. Meski begitu, pasar saat ini kembali terbuka karena kina dibutuhkan untuk minuman.
"Ditambah juga belum gencar saja mempromosikannya ditambah pohon yang terbatas," ucapnya.
Harus diakui, PPTK merupakan pusat penelitian yang harus membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya karena tidak ada bantuan pemerintah untuk membayar gaji karyawan, penelitian dan lain sebagainya.
"Kalau sekarang kami bermain-main dengan komoditas yang belum begitu pasti, kita tidak mendapatkan pemasukan. Disini, pohon yang cepat bisa menghasilkan uanglah yang kami garapnya salah satunya adalah teh," paparnya.