Bisnis.com, JAKARTA-- Pemerintah dinilai harus menyiapkan sejumlah program yang layak untuk ditawarkan kepada Amerika Serikat mengingat kebijakan proteksionisme Trump hanya bisa ditaklukan dengan negosiasi bilateral.
Demikian dikemukakan Christianto Wibisono, ketua sekaligus pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI). Ia menegaskan, AS di bawah kepemimpinan Donald Trump bersikukuh menerapkan proteksionisme untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah produk negaranya.
Dengan kebijakan itu, negosiasi business to business diperkirakan sulit dilakukan untuk meningkatkan perdagangan dengan AS.
“Kita harus bikin agenda/program apa yang bisa kita promo ke AS, apa yang bisa kita jual untuk bisa meningkatkan ekspor ke sana sekaligus menambah investasi ke sini (Indonesia),” ujarnya saat ditemui dalam diskusi GLobal Trade Opportunity Vs Trumponomics: Indonesia Inc Strategic Competitiveness di Hotel JW. Marriot, Rabu (29/3).
Ia pun menyatakan akan lebih baik jika Pemerintah Indonesia bisa sering bertemu dengan Pemerintah AS untuk meningkatkan hubungan ekonomi antara dua negara tersebut.
“Jadi era free lunch in the world sudah berakhir, sekarang sudah masuk ke era you have to pay for your lunch. Memang mau tidak mau kita harus meningkatkan hubungan bilateral dengan AS,” jelasnya.
Baca Juga
Menurut Christianto, selama ini banyak negara yang diuntungkan dengan berbagai perjanjian perdagangan dengan AS, salah satunya melalui Trans Pasific Partnership (TPP). Sebab itu AS memutuskan untuk menarik diri dari TPP.
Dengan begitu, saat ini peluang Indonesia dengan berbagai negara untuk merambah pasar AS setara.
Peluang inilah yang menurutnya harus dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dengan melakukan penguatan hubungan bilateral.
Kendati demikian, sebelum melakukan penguatan bilateral, Pemerintah terlebih dahulu harus menyiapkan program atau pun paket negosiasi yang bisa ditawarkan ke negeri Paman Sam itu.
“Akhirnya, kita harus identifikasi bidang mana saja yang bisa ekspansi atau investasi besar-besaran. AS itu nomor 10 investasinya di Indonesia, perdagangan dengan Vietnam kita kalah. Vietnam itu US$ 50 miliar, kita cuma US$ 25 miliar per tahunnya, itu suatu hal yang pasti ada sebabnya,” jelasnya.
Sementara itu, dalam diskusi disebutkan jika masih banyak pekerjaan rumah Pemerintah khususnya di sektor industri dalam mewujudkan misi menjadikan Indonesia negara maju.
Hal itu dikemukakan Ngakan Timur Antara, Staf Ahli Menteri Bidang Penguatan Struktur Industri Kementerian Perindustrian, Menurut dia, sektor industri adalah salah satu patokan bagi suatu negara untuk bisa keluar dari middle income trap atau jebakan kelas menengah untuk bisa menjadi negara dengan pendapatan menengah ke atas.
Menurutnya, ada beberapa tahap untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri demi menopang penguatan ekonomi.
Namun setidaknya, dari Kementerian Perindustrian sudah menyusun tiga pemetaan fokus pengembangan industri.
Fokus pertama, tepatnya pada 2015-2018, pemerintah akan fokus pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor industri.
Dalam pengembangan SDM ini, Kementerian Perindustrian akan fokus dalam peningkatan pendidikan vokasi, mulai dari tahap pendidikan, pemagangan, hingga sertifikasi para pekerja di berbagai industri.
Fokus kedua, tepatnya pada 2018-2024, peningkatan daya saing industri Indonesia di dunia internasional dengan mengembangkan hilirisasi di Indonesia.
Terakhir, fokus pengembangan pada 2025-2035 berupa penguatan produk dan inovasi di berbagai industri sehingga Indonesia dikenal sebagai negara industri.
“Di 2035 nantinya jumlah pekerja di sektor industri ini menjadi 29,2 juta dan kontribusi sektor industri terhadap ekspor bisa mencapai 78,4%,” tukasnya.