Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta fokus diri untuk mesinkronisasikan undang-undang tentang kekayaan negara yang dipisahkan agar lebih banyak keputusan investasi strategis yang dapat diambil baik oleh Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah.
Guru Besar Universitas Indonesia Erman Rajagukguk mengatakan akibat ketidaksinkronan yang terus dibiarkan ini maka sejumlah keputusan korporasi terus dipermasalahkan. Pasalnya jika terjadi kerugian maka manajemen akan didakwa merugikan negara. Padahal dalam bisnis sebuah usaha dapat untung atau rugi.
“Neraca [keuangan perusahaan itu memuat] untung rugi, bukan untung saja. Kejaksaan melihat per transaksi, padahal bisnis dalam perusahaan itu satu tahun. Seharusnya dilihat neraca akhirnya yang untung [atau rugi],” kata Erman di Jakarta,Senin (13/3/2017).
Dia mengatakan, seharusnya ada ketegasan dalam aturan pidana bagi manajemen hanya jika menyangkut penggelapan ataupun jika melakukan suap. Apalagi pertanggungan jawaban sudah diberikan kepada pemegang saham.
“Harusnya pemegang saham yang dirugikan yang berhak mengajukan permohonan ke pengadilan,” katanya.
Akibat aturan yang tidak sinkron ini, kata dia, saat ini para direktur badan usaha milik negara (BUMN) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memilih investasi yang aman dan minim terobosan. Akibatnya banyak badan usaha yang tidak berkembang. Pola bisnisnya hanya main aman seperti penempatan pada deposito atau surat berharga milik negara.
“BUMN tidak berkemang karena takut, [bagi manajemen] maju ndak maju ya udah,” katanya.
Untuk itu, dia mengharapkan reformasi hukum yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo berfokus memperbaiki celah aturan ini. Dia mengatakan akibat celah ini terbuka, maka tugas kejaksaan dan kepolisian menjadi anomaly. Kedua lembaga penegak hukum itu justru menjadi konsultan bisnis bagi BUMN dan BUMD sebelum mengambil keputusan bisnis.
Diskursus keuangan negara ini telah menjadi titik diskusi sejak lama. Pasalnya Undang-Undang Keuangan Negara , Undang-undang Badan Pemeriksa Keuangan, Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU No 49/Prp/1960 tentang Panitia urusan Piutang Negara, menyebutkan kekayaan BUMN bagian dari kekayaan negara.
Namun, jika merujuk pada UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN), UU Perseroan terbatas (PT), UU Perbankan, UU Pasar Modal yang terkait lingkup bisnis secara tegas menyatakan Kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara yang terpisah. Sehingga kerugian bisnis tidak otomatis menjadi kerugian negara.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan akibat kebijakan ini sejumlah inovasi sulit dilakukan. Apalagi kata dia, profesionalitas Kejaksaan Agung diragukan akibat kebijakannya yang terkesan melakukan kriminalisasi dalam sejumlah kasus. Ia mengatakan sejumlah kasus seperti perkara Indosat M2, Merpati, Chevron hingga mobil listrik menunjukan inovasi kebijakan rentan diseret keranah hukum.
Meski begitu dia mengharapkan presiden mengganti Jaksa Agung dengan sosok yang tidak terafiliasi dengan partai politik. Ia mengatakan sosok yang terafiliasi seperti Jaksa Agung saat ini sangat sulit diyakini kapasitasnya.