Bisnis.com JAKARTA - Tak dapat dipungkiri, penentuan bauran energi di sebuah negara, merupakan pijakan untuk menentukan ketersediaan energi dalam mengelola negara.
Namun, apa jadinya bila salah satu sumber energi memiliki bauran yang sangat besar sehingga negara tersebut bergantung pada keberlangsungan sumber energi itu.
Beberapa waktu lalu, International Energy Agency (IEA) baru saja merilis sebuah kajian pengelolaan bauran energi di Prancis yang bertajuk Energy Policies of IEA Countries - France 2016 Review.
Kajian tersebut layak dijadikan pelajaran bagi negara lainnya. Tak terkecuali Indonesia yang baru menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan kini bersama pemerintah daerah menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
Ketersediaan energi listrik di Prancis sangat tergantung dari keandalan dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Pasalnya, energi nuklir memasok sekitar 75% dari keseluruhan kapasitas pembangkit listrik di negara tersebut.
Sisanya, dipasok oleh energi terbarukan yang kebanyakan berupa pembangkit listrik tenaga air (PLTA), serta pembangkit listrik dari energi terbarukan lainnya, termasuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Uniknya, pembangkit listrik konvensional seperti gas, batu bara dan minyak, hanya memiliki bauran 6%.
Dalam mengatasi kebutuhan energi selama musim dingin, diperlukan tambahan pasokan energi listrik sebanyak 2,4 gigawatt (GW) untuk setiap penurunan suhu sebesar 1 derajat celcius, yang setara dengan dua PLTN.
Padahal, sebanyak 9 GW dari keseluruhan kapasitas PLTN mereka sebesar 63 GW, dimatikan karena tengah dalam masa perawatan. Negara tersebut, kini tengah menghadapi persoalan pasokan energi listrik. Ada beberapa opsi yang kini tengah dipertimbangkan oleh Prancis untuk menghadapi ketersediaan energi listrik pada tahun ini.
Tak hanya PLTN, PLTA juga tengah mengalami persoalan dengan rendahnya level reservoir air selama 10 tahun belakangan. Khusus untuk PLTS photovoltaik, juga akan menghadapi terbatasnya sinar matahari saat musim dingin tiba.
"Impor listrik jadi opsi. Perancis telah menyelesaikan interkoneksi skala kecil dengan Spanyol dan kini tengah merencanakan untuk menambah interkoneksi bawah laut mereka," tulis laporan itu, dikutip Bisnis.com, Rabu (22/2/2017).
Namun, langkah ini juga tak luput dari problematika karena juga sangat tergantung dari kemampuan negara lain untuk membagi pasokan listriknya. Adapun, pasokan listrik dari negara tetangga seperti Inggris juga sangat ketat, sedangkan Belgia tengah dalam proses untuk memadamkan PLTN mereka.
Disamping upaya itu, Perancis juga telah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengukur ketahanan energi listrik dalam menghadapi puncak permintaan listrik selama musim dingin.
Langkah tersebut, juga termasuk rencana multiyear dengan aturan permintaan baru, termasuk kapasitas pasar yang membolehkan operator untuk ikut serta dalam menjual energi listrik.
Dengan demikian, diharapkan bisa menciptakan pasar yang kompetitif antara pemasok energi konvensional dan operator sistem. Tak hanya itu, alat ukur pintar juga telah mulai disebar yang diharapkan bisa merespon permintaan dengan sistem harga yang dinamis.
Hanya saja, dengan bauran energi yang cukup besar dari PLTN, analisis IEA mengungkapkan jika industri PLTN juga mampu mengatasi tantangan ke depan, termasuk umur operasional dan adanya reaktor baru.
"Upaya ini juga penting bagi negara Uni Eropa lainnya, karena persoalan nuklir di Prancis akan berdampak pada interkoneksi di Uni Eropa dan ketahanan energi negara sekitar termasuk Belgia dan Jerman," tulis IEA.
SITUASI INDONESIA
Sementara itu, di Indonesia, pemerintah menargetkan porsi energi baru terbarukan (EBT) bisa mencapai 23% dalam bauran energi nasional pada 2025. Kendati, porsi batubara tetap dominan dengan bauran 30%. Gas bumi dan minyak bumi diproyeksi memiliki bauran masing-masing 22% dan 25%.
Hanya saja, realisasi porsi EBT hingga saat ini masih rendah dengan bauran di bawah 7%. Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan bauran EBT pada tahun ini bisa meningkat menjadi 11%.
Untuk mencapai target itu, upaya yang dilakukan antara lain dengan pemberian Feed-in Tarif untuk EBT yang affordable bagi PLN atau pengembangan pembangkit listrik, tetapi masih memberikan benefit bagi pengembang EBT. Selain itu, juga ada kewajiban penggunaan biofuel dan bioenergi, dan pengutamaan pembangunan pembangkit listrik EBT.
Namun, terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk Penyediaan Tenaga Listrik, dinilai menjadi penghambat pengembangan EBT di Tanah Air.
Pasalnya, beleid itu yang mengatur harga maksimum listrik dari sejumlah energi terbarukan itu justru akan menghambat investasi di sektor tersebut. Beleid itu juga mengatur bahwa subsidi tidak lagi diberikan kepada pengembang EBT. Padahal, pemerintah belum menyediakan skema insentif untuk para investor.
Sementara, pada sisi lain, cadangan minyak Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun seiring dengan kondisi lapangan yang sudah tua dan tidak adanya penemuan cadangan baru dengan jumlah besar. Bahkan untuk produk gas bumi, sejumlah proyek gas besar seperti Masela, Indonesia Deepwater Development (IDD) dan East Natuna tak kunjung dieksekusi. Malahan, opsi impor gas segera dibuka.
Pertanyaannya, siapkah Indonesia dengan menyediakan opsi-opsi agar tidak tergantung begitu besar pada sumber energi tertentu agar persoalan di Prancis tidak menghantui Bumi Pertiwi di masa mendatang?