Bisnis.com, JAKARTA – Penerbitan payung hukum moratorium perkebunan kelapa sawit berpotensi molor karena akan diterbitkan berbarengan dengan regulasi reforma agraria dan pemutihan lahan.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan San Afri Awang mengungkapkan skenario tersebut merupakan ide dari Kemenko Perekonomian. Pasalnya, perkebunan kelapa sawit rakyat menjadi salah satu obyek dalam reforma agraria dan pemutihan lahan.
“Dalam pembahasan terakhir, tampaknya tiga-tiganya akan keluar bareng karena saling terkait. Semangatnya sih dua minggu dapat diselesaikan,” katanya dalam Rapat Kerja Penguatan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Jakarta, Senin (16/1/2016).
Sebagaimana diketahui, moratorium perkebunan kelapa sawit akan diakomodasi dalam Instruksi Presiden tentang Evaluasi dan Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Saat ini, dokumen draf beleid itu sudah berada di Istana Kepresidenan.
Sementara payung hukum reforma agraria akan dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria. Adapun, pemutihan lahan bakal dicantolkan dalam Perpres tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah oleh Masyarakat yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.
Sebagaimana diketahui, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjanjikan lahan seluas 9 juta hektare (ha) sebagai tanah obyek reforma agraria (TORA) hingga 2019. Skemanya adalah 4 juta ha dalam bentuk sertifikasi, sedangkan sisanya berupa distribusi tanah untuk pertanian dan perkebunan.
Di samping itu, Jokowi-JK juga menjanjikan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola masyarakat lewat perhutanan sosial (PS). Beberapa skema PS adalah hutan desa, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hingga hutan adat.
Awang mengatakan TORA dan PS juga sebagai solusi untuk mengatasi perambahan kawasan hutan oleh masyarakat. Pemerintah, kata dia, siap melepas kawasan hutan yang terlanjur masuk dalam kegiatan perkebunan, pertanian, hingga transmigrasi.
Pada 2016, KLHK telah menerbitkan surat keputusan pelepasan sekitar 707.000 hektare (ha) kawasan hutan untuk rakyat. Namun, Awang menilai payung hukum berupa Perpres tetap dibutuhkan untuk memperkuat kebijakan tersebut.
Dengan dua perpres itu, Awang mengungkapkan Indonesia akan mengadopsi orde ekonomi baru untuk usaha berbasis lahan. Pengelola lahan akan berbentuk koperasi yang merupakan kumpulan dari pelaku-pelaku usaha kecil dibandingkan saat ini yang cenderung dikuasai oleh konglomerasi.
Di sisi lain, Guru Besar Manajemen Kehutanan Universitas Gadjah Mada ini mengatakan skema pemutihan lahan tidak akan berlaku bagi para pengusaha. Menurutnya, lahan perkebunan mereka yang berdiri di kawasan hutan mutlak dikembalikan kepada negara.
Namun, tambah Awang, jika konsep pemutihan ingin diterapkan bagi korporasi, kebijakan tersebut harus dipayungi oleh undang-undang. Karena itu, dia mengusulkan penerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perpu) agar pelaksanaanya bisa lebih cepat.
Sebelumnya, Penasihat Teknis United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia Abdul Wahid Situmorang juga mengusulkan kebijakan pengampunan lahan (land use amnesty) dengan payung hukum UU. Hal ini akan memberi legitimasi kuat karena kawasan hutan diatur dalam level UU yakni UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
“Pengampunan lahan ini bisa dimasukkan dalam revisi UU Kehutanan atau lebih bagus lagi ada UU tersendiri,” ujarnya.
Dia menilai pendekatan penegakan hukum ala pemerintah belum efektif mengembalikan kawasan hutan yang dipakai secara ilegal di luar fungsinya. Pemerintah, menurut Situmorang, perlu mengambil terobosan seperti halnya kebijakan pengampunan pajak untuk mengatasi sengkarut dalam basis data perpajakan nasional.