Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah aktivis lingkungan meminta jaminan pemerintah agar kawasan hutan primer dan gambut tidak dialokasikan untuk konsesi bisnis perhutanan sosial.
Manajer Transformasi Pasar Komoditas Kehutanan WWF Indonesia Aditya Bayunanda mengingatkan kembali bahwa perhutanan sosial sebagai wujud dari komitmen untuk mengurangi lahan-lahan kritis. Namun, dia menilai bukan mustahil konsesi diberikan di atas kawasan hutan yang masih memiliki tutupan pohon dan gambut.
“Ini karena hutan alam dan gambut konfliknya rendah. Semestinya perhutanan sosial tidak mendorong deforestasi,” katanya dalam acara diskusi Outlook Peluang dan Tantangan Tata Kelola Hutan Indonesia di Jakarta, Selasa (13/12/2016).
Sampai 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengalokasikan 12,7 juta hektare (ha) lahan untuk perhutanan sosial baik berupa hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hingga hutan adat. Namun, sampai akhir 2016, realisasi izin untuk skema-skema tersebut masih di bawah 2 juta ha.
Aditya justru mendorong pemerintah agar memberikan konsesi perhutanan sosial dari lahan-lahan perkebunan yang merambah kawasan hutan. Dia tidak setuju jika kebun ilegal diputihkan dan dikelola kembali oleh korporasi.
Di samping itu, Aditya mencemaskan klausul dalam Permen No. 83/2016 tentang Perhutanan Sosial yang membolehkan perseorangan mengajukan permohonan izin hutan tanaman rakyat. Menurutnya, ketentuan ini berpeluang dimanfaatkan oleh individu-individu yang masih terkait dengan korporasi.
“Waspadai cukong yang mengatasnamakan rakyat. Ini harus kita jaga bersama agar tidak sampai terjadi.”
Di tempat yang sama, Manajer Departemen Industri Berbasis Lahan Transparency International Indonesia (TII) Rivan Prahasya meyakini perhutanan sosial tidak akan memicu deforestasi. Menurutnya, kawasan hutan produksi yang dikelola rakyat baru 2%, sisanya digarap oleh korporasi swasta dan badan usaha milik negara.
“Konsep perhutanan sosial ini kan memang untuk memanfaatkan lahan kritis,” tuturnya.