Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan masih merumuskan arah revisi aturan Permendag nomor 85/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Kemendag Dody Edward mengatakan perubahan tersebut didorong oleh perkembangan yang terjadi saat ini, antara lain tingginya volume impor.
“Kami akan menghimpun semua materi dari asoasiasi dan instansi terkait dan akan kami rumuskan bersama-sama. Ini masih dalam proses dan kami masih berkoordinasi lewat sejumlah rapat,” kata Dody saat dihubungi Bisnis, Rabu (16/11/2016).
Sayangnya, ketika ditanya lebih rinci, Dody enggan menyebutkan arah revisi regulasi dimaksud. Namun, dia menegaskan, perubahan regulasi yang baru berumur satu tahun tersebut didorong perkembangan situasi terkait importasi TPT belakangan.
“Suatu aturan bisa saja berkembang cepat sekali, dengan situasi seperti saat ini sehingga perlu ada penyesuaian atau revisi. Kita perlu menyikapi keadaan,” ujarnya.
Secara terpisah, kalangan pelaku usaha pertekstilan menilai proses audit impor TPT lebih diperlukan daripada revisi peraturan.
Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy menuturkan kepatuhan importir terhadap aturan importasi memang perlu ditingkatkan lewat proses audit yang tegas.
“Sebaiknya dicek setiap akhir tahun, berapa pengajuan kebutuhan impornya dan apakah dia gunakan sendiri atau dijual. Harus ada auditnya, sebab bila hanya mengandalkan rekomendasi pengawasannya lebih susah,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah perlu membenahi industri hulu produksi serat dan benang dengan memberikan fasilitas agar lebih mampu bersaing. Adapun untuk industri hilir di dalam negeri harus diberikan proteksi.
“Kalau mau dibenahi harus dicari apa inti permasalahan yang menyebabkan impornya tinggi. Jangan hanya sekadar menyelesaikan per kasus dan melakukan revisi setiap kali impor kain tinggi,” tuturnya.
Adapun, Permendag 85/2015 dibentuk sebagai upaya deregulasi untuk mendukung kemudahan dalam berusaha. Dalam beleid tersebut, rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dalam memberikan izin impor ditiadakan karena dianggap menambah dwelling time.
Namun, belakangan, aturan tersebut dituding telah menyebabkan pembengkakan impor pada hampir semua kategori TPT.
Berdasarkan data BPS, sepanjang 2015-2016 impor kain jenis tenun polyster staple tumbuh 52,3%, tenun polyster filament naik 60,3%, kain rajut polyster 56,5% dan kain rajut lainnya naik 87,8%.
Dalam catatan Bisnis, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (ApSyFI) juga menyuarakan dugaan adanya importir nakal yang memanfaatkan celah beleid tersebut dan membuat TPT impor membanjiri pasar. Importir diduga mengimpor di atas kapasitasnya lalu menjual kain impor yang semestinya hanya boleh digunakan sebagai bahan baku produksi.
Kementerian Perindustrian juga mengatakan akan membahas lebih lanjut mekanisme kontrol yang perlu dilakukan untuk menekan impor di sektor industri tersebut.