Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri rotan menargetkan ekspor olahan rotan menjadi hampir tiga kali lipat menjadi US$500 juta pada 2020 dengan meningkatkan kualitas desain dan promosi ke luar negeri.
Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan nilai ekspor rotan pada 2014 dan 2015 masing-masing mengalami penurunan akibat krisis ekonomi global yaitu sekitar US$173 juta dan US$159 juta.
Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan pengolahan rotan di Indonesia masih minim, yaitu hanya 12% dari total pengolahan produk hutan, sementara kayu sudah 65%.
Dengan peningkatan produksi menjadi 25%, dia meyakini ekspor rotan bisa mencapai US$500 juta pada 2020. Apalagi dengan potensi Indonesia sebagai bahan baku terbanyak di dunia yang mencapai 85%.
“Strateginya kampanye supaya masyarakat dunia membeli rotan, lalu pengembangan desain supaya sesuai dengan kebutuhan pasar, dan kami melakukan asistensi kompetensi pelaku industri,” ujarnya, Selasa (15/11/2016).
Dia mengakui desain rotan terbaik berasal dari Italia dan Filipina, tetapi industri dalam negeri tidak kalah dengan sejumlah perusahaan dari Jerman, Italia, dan Taiwan yang tidak memiliki bahan baku sehingga mau membuka pabrik di sini.
Berdasarkan Permendag No.35/2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan, ekspor rotan mentah hanya boleh dilakukan oleh eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK). Dengan turunnya aturan tersebut langsung berimbas pada naiknya ekspor olahan rotan 36% pada 2012.
Masalahnya, masih ditemukan ketimpangan antara hulu dan hilir karena industri belum mampu menyerap bahan baku yang mencapai 125.000 ton per tahun.
Dengan jatah tebang lestari tersebut, bahan baku rotan kering yang bisa diproduksi sekitar 70.000 ton, tetapi baru sekitar 50.000 ton rotan yang diolah oleh industri.
Menurutnya, selain pasar Uni Eropa, pasar yang berpotensi besar untuk digarap adalah pasar China yang nilai konsumsinya mencapai US$1,3 miliar, mengingat China juga tidak memiliki bahan bakunya.
Sobur menghimbau perlu adanya tiga zona industri kerajinan mebel di setiap masing-masing provinsi di Pulau Jawa untuk menciptakan industri yang terintegrasi untuk mendorong daya saing.
“Kalau bisa mendorong zona industri ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi maka biayanya lebih banyak terpangkas karena industri mendekati hulunya, cuma infrastrukturnya harus diselesaikan. Mimpi kami industri [kerajinan] 60% harus di luar Jawa,” tuturnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan industri tersebut perlu pelatihan dan pengembangan, terutama di bidang desain, teknik produksi dan finishing karena hal tersebut yang memengaruhi daya saing industri furnitur yang masuk kategori industri kreatif.
“Penyelenggaraan Forum Rotan Internasional ini diharapkan dapat menghasilkan pemikiran yang kreatif dan konstruktif guna mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri rotan nasional,” katanya.