Bisnis.com, JAKARTA — Regulasi industri minuman mengandung etil alkohol harus memberikan perlindungan bagi konsumen dari produk berbahaya.
Anggota Komite Eksekutif Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), Ronny Titiheruw, mengatakan industri minuman mengandung etil alkohol (minol) merupakan salah satu industri yang regulasinya paling ketat.
Produksi dan distribusi minol diatur oleh 36 regulasi dari hulu hingga ke hilir mulai dari izin produksi, kuota produksi, hingga pungutan cukai. Industri minol juga harus mengikuti lebih dari 150 regulasi di tingkat pemerintah daerah, beberapa di antaranya melarang total peredaran minol.
“Jadi tidak benar pernyataan minol dijual bebas di Indonesia. Kami adalah salah satu industri yang paling heavily regulated,” kata Ronny dalam kunjungan ke redaksi bisnis, Rabu (26/10/2016).
Aturan induk yang berlaku saat ini adalah Peraturan Presiden no. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan Peraturan Menteri Perdagangan no. 6/2015.
Perpres no. 74/2013 mengatur tentang penggolangan minol berkadar alkohol 5% atau kurang (golongan A) sebagai produk yang berada di bawah pengawasan.
Penggolangan tersebut membuat bir yang sebelumnya bebas dijual, terikat dengan pembatasan peredaran serupa dengan minol golongan B dan golongan C. Adapun Permendag no. 6/2015 melarang penjualan minol di minimarket dan pengecar lain.
Anggota Komite Eksekutif GIMMI Ipung Nimpuno mengatakan larangan penjualan minol di minimarket dan pengecer lain merugikan konsumen, bahkan berpotensi mengancam keselamatan masyarakat.
Dia menjelaskan Permendag no. 6/2015 mempersulit akses konsumen terhadap minol di luar kota-kota besar. Contohnya konsumen di salah satu kota di Maluku harus menempuh perjalanan hingga satu jam untuk membeli bir di supermarket atau hipermarket terdekat.
Akses yang sulit, lanjut Ipung, membuat oplosan semakin populer padahal konsumsi oplosan mengancam kesehatan masyarakat bahkan bisa menyebabkan kematian.
“Ini yang terus, mendorong mereka untuk mengkonsumsi minuman lain, baik oplosan atau tradisional. Dua produk ini tidak diatur ketat oleh pemerintah,” kata Ipung.
Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan pelarangan total terhadap peredaran minuman beralkohol berisiko terhadap kesehatan publik karena mendorong perederan minuman keras ilegal dan aktivitas kriminal.
Data CIPS menunjukkan faktor harga membuat volume konsumsi miras oplosan di Indonesia lima kali lebih banyak dibandingkan volume konsumsi miras legal.
Penelitian yang sama menunjukkan korelasi positif antara jumlah korban tewas dan terluka akibat miras oplosan dengan pembatasan distribusi minuman mengandung etil alkohol.
CIPS menyatakan ada 106 orang korban miras oplosan dari 7 kabupaten/kota yang tidak melarang peredaran minuman beralkohol.
Adapun 192 korban terdata dari 12 kabupaten/kota yang memiliki aturan larangan parsial dan 331 korban di 11 kabupaten/kota yang memiliki aturan larangan total.
Industri Minuman Beralkohol Harus Ikut Lindungi Konsumen
Regulasi industri minuman mengandung etil alkohol harus memberikan perlindungan bagi konsumen dari produk berbahaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Demis Rizky Gosta
Editor : Rustam Agus
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
43 menit yang lalu
Ekonom Nilai PPN 12% dan Tax Amnesty Tak Efektif Kerek Penerimaan Negara
1 jam yang lalu