Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Darori Wonodipuro mewanti-wanti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar berhati-hati bila menerima permintaan dari kepala daerah untuk mengubah kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL).
“Pasti banyak kepala daerah yang mengejar (KLHK) dalam rangka pencucian kasus. Jadi jangan sampai terseret karena minta kawasan hutan di-APL-kan. Bentar lagi akan ada gubernur yang menjadi tersangka,” ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR dengan KLHK di Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Darori mengenang pernah ada seorang gubernur yang memarahi anggota DPR periode 2009-2014 dan Kementerian Kehutanan (kini: KLHK) karena menuntut perubahan tata ruang. Selang berapa waktu, sang gubernur itu malah menjadi tersangka dalam kasus korupsi alih fungsi lahan.
Mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Kemenhut ini tidak mengungkapkan siapa sosok gubernur tersebut. Namun, sudah menjadi rahasia umum salah satu gubernur yang menjadi tersangka dalam kasus alih fungsi lahan adalah mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September 2014.
Darori mengatakan permasalahan tata ruang memang cukup pelik. Sebuah kawasan hutan, misalnya, dianggap sah bila sudah ditetapkan. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan mengurutkan penetapan kawasan dimulai dari penunjukan, pemetaaan, pengukuran, hingga penetapan.
“Jadi kalau tata ruang baru ada pemotongan harus ada penetapan dulu, kalau penunjukan saja tidak sah. Ini akan jadi lebih sulit karena panitia tata batas itu adalah kepala daerah,” tutur politisi Partai Gerindra ini.
Dalam Raker, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tidak menanggapi secara khusus peringatan tersebut. Pasalnya, parlemen memberi kesempatan bagi Siti untuk menjawab secara tertulis pertanyaan-pertanyaan anggota dewan.
Namun, dalam kesempatan terpisah Siti menyebutkan perubahan tata ruang merupakan rangkaian metamorfosis perizinan yang menjadi biang kerok kebakaran hutan dan lahan. Modus itu dimulai dengan praktik pembalakan liar di suatu kawasan hutan, lantas menjadi perkebunan kelapa sawit liar, dan terakhir dilegalkan lewat perubahan tata ruang.
“Proses metamorfosis ini sangat buruk. Fakta-fakta empiris ini didapat dari catatan aktivis, media, dan observasi pemerintah sendiri,” katanya.
Menurut Siti, praktik tersebut terekam di Provinsi Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Dia menduga modus sejenis terjadi di daerah yang rawan bencana asap seperti Sumatra Utara, Jambi, dan Sumatera Selatan.