Bisnis.com, JAKARTA-- Sudah berulang kali Fatchur Rochman, Ketua Asosiasi Tol Indonesia, merekomendasikan pemerintah untuk memanfaatkan dana-dana jangka panjang seperti dana pensiun, dana haji, untuk pembiayaan infrastruktur, terutama dalam hal pengadaan lahan. Namun,dengan terlebih dahulu membuat payung hukumnya.
Pasalnya, Data Bappenas dalam RPJMN tahun 2015 – 2019 menyebutkan kebutuhan pendanaan infrastruktur prioritas mencapai Rp 4.796 triliun, di mana pendanaan melalui APBN dan APBD hanya mampu menutupi 41,3% atau Rp1.978 triliun, dengan keterlibatan BUMN 22,2% atau Rp1.066,2 triliun. Untuk itu partisipasi swasta diperlukan sebanyak 36,5% atau Rp1.751,5 triliun, bila ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% hingga 6% dalam kurun waktu tersebut.
Keterbatasan APBN itu pula yang membuat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat saat ini meminjam dana badan usaha untuk menalangi biaya pengadaan lahan untuk jalan tol. Padahal, sesuai UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, pengadaan lahan untuk proyek infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah.
Namun, apa boleh buat, APBN yang digunakan untuk dana pengadaan lahan hanya sebesar Rp1,4 triliun, jauh dari kebutuhan yang mencapai Rp16 triliun. Dana senilai Rp1,4 triliun itu juga telah terserap habis pada Februari, sementara pengadaan lahan tidak bisa dibiarkan tertunda, sehingga pemerintah terpaksa meminta badan usaha menalangi terlebih dahulu.
“Kenapa bukan pemerintah yang melakukan pinjaman ketiga selain badan usaha mau itu pinjaman luar negeri atau perbankan. Atau kenapa tidak manfaatkan dana jangka panjang seperti dana haji dan pensiun untuk pengadaan lahan? Badan usaha kan melakukan pinjaman itu ke lembaga keuangan dengan bunga komersial,” ujarnya.
Meski demikian, kini secercah harapan muncul tatkala Presiden Joko Widodo menugaskan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) sebagai Ketua Tim Pendanaan Infrastruktur Non APBN untuk pelaksanaan proyek infrastruktur. Dengan wewenang baru itu, Bappenas mengupayakan penghimpunan potensi dana BPJS senilai Rp220 triliun dan PT Taspen senilai Rp140 triliun per tahun, yang selama ini hanya disimpan dalam bank dan dibelikan Surat Utang Negara (SUN).
Menurutnya, kedua dana jangka panjang itu harus diinvestasikan ke proyek infrastruktur komersial, terlebih saat suku bunga rendah. Dia mengatakan pemerintah telah menyiapkan proyek-proyek besar yang akan ditanami dana dari asuransi dan tabungan pensiun seperti pembangkit listrik, jalan tol, bandara, dan pelabuhan besar.
Menteri Bambang mengatakan, salah satu tujuan pemanfaatan dana jangka panjang tersebut adalah mengurangi kebutuhan BUMN yang mengerjakan proyek infrastruktur terhadap Penyertaaan Modal Negara (PMN). Untuk implementasi, dia menilai proyek tol Trans Jawa layak menjadi proyek pertama yang menggunakan pendanaan dari dana jangka panjang karena cukup prospektif.
“Penjaminannya biasanya PT PII [Penjaminan Infrastruktur Indonesia]. Intinya pemerintah tidak menjamin, cuma memfasilitasi. Makanya proyek pertama yang kita dorong tol Trans Jawa karena prospeknya bagus,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, ekonom Kenta Institute Eric Alexander Sugandi mengatakan selama ini dana pensiun dan asuransi belum bisa masuk ke pembiayaan infrastruktur karena peraturan teknis pelaksanaannya yang belum siap.
Menurutnya, kebijakan dana pensiun dan asuransi cenderung konservatif terhadap risiko, bahkan beberapa dana pensiun menempatkan dananya di portofolio yang memiliki peringkat AAA sehingga diperlukan penjaminan dari pemerintah untuk menghindarkan risiko.
"Ya jaminan misalnya dari PT Penjaminan Infrastruktur. Tapi belum tentu semua dana pensiun dan asuransi akan ikut karenaa perusahaan memiliki kebijakan beda-beda," katanya.