Bisnis.com, JAKARTA - Produksi biji kakao di dalam negeri pada 2016 akan mengalami penurunan sekitar 10% dibandingkan dengan tahun sebelumnya kurang lebih 400.000 ton.
"Tahun lalu itu hanya 400.000 ton, dan prediksi saya tahun ini akan kembali mengalami penurunan. Tahun lalu ada pengaruh El Nino, sementara tahun ini banyak hujan, mungkin penurunan sekitar 10% dari 2015," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Sindra Wijaya, di Jakarta, Jumat (26/8/2016).
“Lahan kakao kita sama dengan Pantai Gading, hanya masalah produktivitas saja. Di mana dari 1,7 juta hektar, 400.000 hektar merupakan tanaman tua, dan 400.000 lagi merupakan TBM (Tanaman Belum Menghasilkan). Kalau itu digabung dalam 3-5 tahun kita sudah nomor dua di dunia,” kata Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian. |
Sindra mengatakan jumlah produksi yang terus menurun itu akan merugikan sektor industri pengolahan biji kakao dalam negeri, dimana saat ini kapasitas produksi terpasang mencapai 800.000 ton, sementara hanya dipergunakan maksimal 50% dari kemampuannya.
Menurut Sindra, pihaknya berharap besar dari pemerintah yang memiliki Program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao dengan alokasi anggaran mencapai Rp1 triliun per tahun untuk meningkatkan produksi komoditas itu di dalam negeri demi memenuhi kebutuhan industri.
"Namun, 2016, anggaran tersebut dipotong menjadi Rp235 miliar. Ini yang kami khawatirkan, satu sisi produksi mengalami penurunan, sementara anggaran untuk peningkatan produksi juga dipangkas," kata Sindra.
Selain itu, lanjut Sindra, ada hambatan untuk melakukan importasi biji kakao yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 04/Permentan/PP.340/2/2015 Tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan.
Sindra menjelaskan dengan adanya aturan tersebut, pemeriksaan laboratorium dilakukan di negara asal termasuk untuk biji kakao. Namun, impor biji kakao tersebut mayoritas berasal dari Pantai Gading dan Ghana, yang tidak mampu memenuhi persyaratan teknis tersebut karena tidak memiliki laboratorium yang memadai.
"Untuk pangan segar berupa buah-buahan dan sayur, itu cocok diterapkan aturan seperti itu. Karena buah dan sayuran, langsung dikonsumsi olah masyarakat sehingga harus diawasi secara ketat jangan sampai tercemar kimiawi atau mikrobiologi," kata Sindra.
Akan tetapi, lanjut Sindra, hal tersebut sangat berbeda dengan biji kakao yang merupakan bahan baku industri. Dalam pemrosesan di dalam negeri, biji kakao tersebut harus melalui proses panjang dan steril sehingga tidak perlu diperlakukan sama seperti buah dan sayur yang langsung ditujukan untuk para konsumen.
"Setelah kami desak, akhirnya Kementerian Pertanian mulai melonggarkan. Informasi yang diterima, sudah ada revisi hanya tinggal menunggu paraf dari Menteri Pertanian," kata Sindra.
Tercatat, impor biji kakao yang dipergunakan sebagai bahan baku industri pada 2014 sebanyak 109.000 ton. Angka tersebut mengalami penurunan pada 2015 menjadi 53.000 ton, dan pada 2016 hingga Juni, importasi baru tercatat sebanyak 18.000 ton.
Indonesia merupakan negara produsen kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pasar ekspor produk kakao berupa cocoa butter antara lain Amerika Serikat dan Eropa, sementara untuk cocoa powder atau bubuk cokelat untuk pasar Asia Pasifik seperti Malaysia, Thailand, Tiongkok, India dan Jepang.