Bisnis.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global menilai ada banyak aspek yang belum tercantum dalam moratorium izin untuk ekspansi perkebunan sawit yang diperintahkan Presiden Joko Widodo pada bulan April 2016.
Kelemahan pada Inpres Moratorium tersebut di antaranya adalah kurangnya penegakan hukum, pemerintah yang masih kurang transparan, mengabaikan partisipasi masyarakat, dan adanya ketentuan pengecualian sehingga menyebabkan kredibilitas pemerintah justru menurun di mata banyak pihak, termasuk negara penyokong penyelamatan hutan Indonesia.
"Lemahnya penegakan hukum antara lain terlihat dari kasus kebakaran hutan dan lahan pada 2015 yang secara faktual melibatkan sejumlah perusahaan sawit dan terjadi di dalam areal konsesi perusahaan," kata perwakilan koalisi Sezen Zee dalam konferensi pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup, Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Dia mengatakan putusan hukum atas kasus itu sangat melempem serta jauh dari rasa keadilan. Salah satunya adalah putusan Pengadilan Negeri Palembang yang membebaskan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dari segala tuntutan tuduhan pembakaran hutan di areal konsesinya sendiri meskipun di kemudian hari pihak KLHK mengajukan upaya hukum banding atas putusan itu.
"Baru-baru ini kami mendengar puluhan perusahaan yang terlibat kebakaran dihentikan penyelidikan kasusnya oleh pihak kepolisian, yang mencerminkan buruknya koordinasi penegakan hukum terkait Karhutla," kata Zee.
Oleh karena itu, koalisi menilai moratorium sawit yang dilaksanakan pemerintah harus mencakup pada penundaan izin pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit, evaluasi izin-izin sawit yang ada dan masih memiliki tutupan hutan untuk dikembalikan sebagai kawasan lindung yang tidak boleh dialihfungsikan.
"Evaluasi dan batalkan izin-izin sawit yang melanggar hukum agar kebijakan moratorium sawit ini benar-benar dapat menyelamatkan hutan yang tersisa dan memberikan rasa keadilan," kata dia.
Zee menuturkan koalisi juga mendorong pemerintah untuk menjalankan penegakan hukum segera atas segala bentuk kejahatan atau pelanggaran yang ditemukan dalam proses evaluasi izin-izin sawit yang sudah ada, terutama untuk izin-izin perkebunan sawit yang beroperasi secara ilegal.
"Sesegera mungkin mencabut izin-izin perkebunan sawit korporasi yang berada di kawasan hutan. Mengkaji ulang izin konsesi kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri yang berada di lahan gambut disertai kewajiban untuk merestorasi bagi konsesi yang mengalami kebakaran sebagai bagian upaya penegakan hukum," ucap dia.
Dalam mengkaji ulang izin, pemerintah hendaknya tidak hanya mengevaluasi izin spasial perusahaan, tetapi juga SK-SK pelepasan kawasan hutan yang telah diterbitkan sebelumnya, SK perubahan peruntukan dan pelepasan kawasan hutan, HGU di dalam kawasan hutan, termasuk izin prinsip dan izin lokasi.
Selain itu, pemerintah perlu memeriksa ada tidaknya pemaksaan atau intimidasi terhadap masyarakat adat dan lokal dalam pembangunan perkebunan sawit yang ada, mulai dari perolehan izin, pembebasan lahan, hingga penanaman dan pemanenan.
"Moratorium ini juga hendaknya mengembalikan dan memulihkan hak-hak masyarakat adat dan lokal yang terlanggar dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit dan memulihkan fungsi lingkungan yang rusak akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit," ucap Zee.
Dalam kasus konflik dengan masyarakat, pemerintah diminta membentuk tim khusus untuk penyelesaian konflik yang melibatkan unsur masyarakat sipil dengan melandaskan diri pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.
"Pemerintah juga harus transparan mulai dari izin, proses evaluasi, rincian lokasi, nama perusahaan yang izinnya ditolak, dan lain-lain," ucap dia.