Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Faisal Basri Kritik Amedemen UU Persaingan Usaha, Ini Jawaban KPPU

Amendemen Undang-Undang Persaingan Nomor 5 Tahun 1999 menuai kritikan dari mantan komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha Faisal Basri.
/Bisnis
/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Amendemen Undang-undang Persaingan No. 5/1999 menuai kritikan dari mantan komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha Faisal Basri. Poin perubahan dalam rancangan undang-undang (RUU) yang tengah dibahas oleh Komisi VI DPR ini dinilai tidak berimbang.

KPPU dianggap terlalu menuntut hak untuk diberi kewenangan lebih, tanpa melakukan perbaikan substansi undang-undang yang jauh lebih penting.

Seperti diketahui, KPPU sedang memperjuangkan perubahan UU No. 5/1999 sejak akhir 2015. Dalam memberantas aksi persaingan usaha tidak sehat, KPPU meminta perannya disejajarkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman. Oleh karena itu, KPPU mengajukan agar diberikn kewenangan lebih untuk mengumpulkan bukti.

Kewenangan yang dimaksud yaitu diberi izin untuk melakukan penggeledahan, penyitaan dan penyadapan. Selain itu, KPPU juga meminta agar DPR menyetujui perubahan besaran denda dari yang semula berupa nominal Rp1-25 miliar per pelaku usaha, menjadi presentease penjualan sebesar 30%.

Mantan Komisioner KPPU sekaligus ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan KPPU tidak dapat asal memintah hak tambahan sebelum melakukan revisi substansi undang-undang persaingan usaha. Menurutnya, beberapa pasal di UU tersebut ada yang tidak sesuai dengan hukum ekonomi di negeri ini.

“Lembaga jangan asal minta kewenangan kalau tidak ada perbaikan substansi. Karena kewenangan itu adalah konsekuensi setelah diubahnya substansi,” katanya belum lama ini.

Salah satu substansi yang harus diamendemen, lanjutnya, adalah Pasal 50 UU No.5 Tahun 1999 yang menyebut koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) dikecualikan dari aturan persaingan usaha tidak sehat.

Faisal menilai KPPU sudah saatnya membereskan undang-undang tersebut. “Memangnya bisa UKM dan koperasi melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pasarnya saja kecil. Substansi seperti ini yang harus diubah,” ujarnya.

Di samping itu, sebutnya, undang-undang persaingan usaha juga mengatur pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar di atas 51% tidak boleh melalukan ekspansi di dalam negeri. Aturan ini seolah-olah mengusir pelaku usaha ke luar negeri padahal kontribusi mereka dibutuhkan dalam membangun ekonomi dalam negeri.

Selanjutnya, tambah Faisal, anggota komisi VI DPR harus menelisik independensi KPPU dimana investigator selaku penyidik bertugas satu atap dengan majelis komisi selaku hakim. Independensi ini yang harus pelan-pelan dibenahi.

“Seharusnya poin-poin dalam undang-undang itulah yang diamendemen. Bukan hanya meminta hak kewenangannya ditambah. Itu bisa menjadi bumerang. Takutnya KPPU memiliki taring tajam tapi tidak bisa mengunyah,” ucapnya.

Karena balik lagi,sebutnya, tugas KPPU adalah lebih pada check and balancing terhadap kebijakan pemerintah. Bukan mennghukum dan memberikan denda.

Menanggapi hal itu, Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf mengatakan pihaknya tetap memperjuangkan apa yang selama ini telah diperjuangkan. Penambahaan kewenangan dan besaran denda itu layak diusulkan untuk memberantas mafia kartel. Lagipula, rapat panitia kerja di Komisi VI juga akan mencapai tahap final, dan diharapkan UU baru terbit pada akhir Oktober.

Menurut dia, sejauh ini tidak ada yang salah dengan substansi undang-undang persaingan usaha. UU No. 5/1999 tidak pernah melarang pelaku usaha menguasai pasar bahkan di atas 75%. Adapun yang dilarang oleh undang-undang adalah pelaku usaha tersebut menggunakan peran dominannya untuk menaikkan harga dan menghalangi perusahan lain masuk ke pasar yang sama.

“Sejauh itu tidak dilakukan ya tidak ada yang salah. Jadi maksudnya substansi seperti apa yang harus direvisi,” katanya kepada Bisnis, Minggu (7/8/2016).

Terkait dengan koperasi dan UKM, kedua badan usaha tersebut tidak dapat dipandang remeh. Belajar dari kasus di Jepang, pengusaha kecil setingkat UKM di bidang otomotif menyalahgunakan posisinya untuk meyerang perusahaan besar. Hal ini lantaran perusahaan otomotif besar di Jepang bergantung pada sektor UKM yang memproduksi suku cadang seperti karet ban, skrup dan kaca.

“Untuk menghindari hal seperti itu di Indonesia, maka KPPU membuat aturan pengecualian bagi UKM dan koperasi. Meski belum ada kasus penyalahgunaan peran UKM di Indonesia karena sistem kemitraan kita belum jalan, itu harus diwaspadai,” ujarnya.

Syarkawi memandang susbstansi dari UU persaingan usaha sudah baik. Dengan begitu, perlu adanya kewenangan lebih untuk mengeksekusi aturan tersebut untuk menciptakan iklim usaha yang sehat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper