Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto menilai inflasi sepanjang tahun memang relatif rendah, namun inflasi pada pangan masih di atas 8%. Gejolak pada pangan ini diakibatkan oleh suplai yang tidak mencukupi permintaan dan persoalan distribusi yang berkaitan langsung dengan infrastruktur.
Dari sisi produksi pangan, banyak daerah yang masih defisit dan ada daerah yang surplus tetapi memiliki harga jual yang mahal. Dia mencontohkan Provinsi Aceh yang megalami surplus beras, namun harga beras daerah itu sangat tinggi. Menurutnya, permasalahan itu terletak di fasilitas penggilingan yang tidak dipunyai oleh Aceh.
Setelah panen, padi diboyong ke Medan untuk digiling dan dijual oleh pedagang besar ke Aceh. Urusan rantai distribusi dan tata kelola niaga menjadi penyebab harga jual produk menjadi tinggi.
“Fenomena seperti ini banyak terjadi. Daerah surplus tapi karena tata niaga, kewirausahaannya juga karena tidak banyak pedagang besar, ini biasa terjadi sehingga volatile food tinggi,” ujarnya, Minggu (7/8/2016).
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menuturkan ada 14 komoditas yang perlu diwaspadai ketika La nina menganggu produksi pangan. Beras, gula, garam, daging, dan jagung jadi komoditas diutama yang bakal diawasi suplainya. Menurutnya, operasi pasar pada produk holtikultura akan dilakukan ketika terjadi kenaikan harga.
“Kalau seandainya tidak [ada kenaikan harga],ya, ngapain operasi pasar. Kalau harganya masih dalam kondisi stabil, buat apa. itu intervensi langsung itu diperlukan manakala kita lihat ada kecenderungan,” ujarnya.