Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja ekspor industri tekstil dan produk tekstil terus tertekan, terutama sektor industri hulu yang terbebani biaya listrik lebih tinggi.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan perkembangan impor dan ekspor industri tekstil dan produk tekstil berhubungan langsung dengan daya saing industri.
Impor produk industri di hulu naik lebih tajam dibandingkan impor produk di hilir, sedangkan volume ekspor industri di hulu merosot lebih tajam dibandingkan ekspor produk di industri yang lebih hilir.
“Ini semua karena daya saing ketika pasar sedang lesu. Porsi beban biaya listrik terhadap biaya produksi di garmen cuma kecil, ke hulu semakin besar,” kata Ade ketika dihubungi bisnis, Minggu (24/7/2016).
Komponen listrik menyumbang 25% dari biaya produksi industri tekstil hulu, sebesar 18% dari biaya produksi industri pintal dan tenun, dan merupakan 3% dari biaya produksi industri garmen.
Data BPS yang diolah Kementerian Perindustrian meunjukkan nilai ekspor industri garmen merosot 0,25% dari US$1,81 miliar pada kuartal I/2015 menjadi US$1,8 miliar pada kuartal I/2016. Adapun nilai ekspor industri tekstil jatuh 10,93% dari US$1,31 miliar menjadi US$1,17 miliar pada periode yang sama.
Nilai ekspor industri TPT secara keseluruhan turun 3,6% dari US$12,74 miliar pada 2014 menjadi US$12,28 miliar pada 2015, sedangan sumbangan industri TPT terhadap produk domestik bruto Indonesia merosot dari 1,32% menjadi 1,21% pada periode yang sama.
PDB industri TPT terus terkontraksi dalam lima kuartal terakhir. Sektor industri tekstil dan pakaian jadi menyusut 1,56% pada kuartal I/2016, setelah tertekan 4,79% sepanjang 2015.