Bisnis.com, JAKARTA--Bank Indonesia menilai dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa ke Indonesia hanya sementara.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan rupiah sempat melemah 1% ke level Rp13.400/US$1, namun hal itu merupakan kewajaran yang mana dana asing keluar untuk mencari suaka negara yang diyakini aman, seperti Amerika Serikat dan Jepang.
BI meyakini larinya dana asing ke negara maju itu bersifat temporer, terlebih Indonesia dalam kondisi ekonomi relatif stabil dan terjaga.
Hingga pekan lalu, BI mencatatkan nett dana asing yang masuk ke Indonesia mencapai Rp70 triliun, sementara tahun lalu pada periode yang sama sebesar Rp30 triliun.
"Yen dan dolar AS menguat, itu menunjukan mereka menjadi tempat yang diminati pada situasi risk off, dana-dana ditempatkan disana. Tapi ini biasanya implikasi sifatnya jangka pendek. Kami akan terus jaga," katanya, di Jakarta, Jumat (24/6).
Dia menjelaskan hasil referendum itu masih melalui proses panjang seperti Inggris harus membuat permintaan ke Uni Eropa untuk keluar dengan melewati proses negoisasi mengenai tarif, migrasi, dan sebagainya. Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Inggris akan merosot 7% pada 2030.
"Kami yakini cukup kaget dunia meyakini ini. Nanti implikasinya jangka panjang. Malah kajian kami di 2030, pertumbuhan ekonomi Inggris bisa menurun sampai 7%," ucapnya.
Selanjutnya, Agus mengatakan perdagangan ekspor impor Indonesia dan Inggris juga belum terlalu besar sehingga dampaknya tidak terlalu besar ke perekonomian dalam negeri.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), arus ekspor Indonesia ke Uni Eropa hingga Mei 2016 mencapai US$1,197 miliar atau urutan ke-7 bersama dengan negara Uni Eropa lainnya, sementara Jerman, Belanda, dan Italia yang tertinggi.
Dalam catatan Bisnis, pada lima tahun terakhir perdagangan Indonesia-Inggris turun 5,8% per tahun dalam lima tahun terakhir.
Namun, neraca perdagangan Indonesia dengan Inggris tetap membukukan surplus dengan pertumbuhan 14,6% dalam periode yang sama.
"Kita tahu hubungan perdagangan antara RI dan Inggris tidak terlalu besar posisi ekspor dan impor, tapi dampak keuangannya pasti ada yaitu dalam bentuk aliran dana tadi," ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian mengatakan keluarnya Inggris dari Uni Eropa mengindikasikan pemerintah Indonesia harus lebih proaktif untuk menciptakan kesepakatan perdagangan dan investasi baru dengan Inggris.
Pada 2015, nilai investasi Inggris berada di peringkat ke-10 dengan total US$503,2 juta atau turun US$1,6 miliar dibandingkan 2014.
Pada April 2016, Indonesia dan pengusaha Inggris juga telah menyepakati perjanjian perdagangan dan investasi senilai US$10 miliar.
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan bilateral antara Indonesia dan Inggris semakin dekat baik ekonomi maupun pendidikan.
Menurutnya, kedua sektor itu paling mungkin dikembangkan terlebih Inggris memiliki universitas terbaik dan Ibukota London telah menjadi pusat ekonomi dunia.
"Keluarnya Inggris dari Uni Eropa bisa jadi kesempatan Indonesia untuk menguatkan kerjasama terutama di level pendidikan tinggi dan finansial," katanya.