Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah upaya pemerintah dan perusahaan untuk terus memperluas pasar ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), peran petani kelapa sawit swadaya dalam rantai nilai (value chain) komoditas tersebut ternyata kian tergerus.
Kondisi lapangan menunjukkan saat ini total luas lahan petani swadaya masih cukup signifikan, yaitu 40% atau sekitar 3,8 juta hektare dari luas lahan sawit secara keseluruhan. Kendati demikian, produktivitasnya 30%-40% di bawah produktivitas petani plasma dan kebun inti milik perusahaan.
Selain itu, petani swadaya juga menghadapi tantangan dalam hal menghasilkan produk-produk yang berkelanjutan. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, akan sulit bagi petani swadaya memiliki sertifikat produksi berkelanjutan.
Manajer Pengembangan Program Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) Indah Budiani mengatakan permintaan dunia atas minyak sawit berkelanjutan terus mengalami peningkatan, terutama dari negara-negara konsumen seperti China, India, Rusia, dan Eropa.
“Permintaan untuk sustainable palm oil dari negara-negara itu meningkat rata-rata 10%, penjualan ke negara-negara itu secara total naik rata-rata 47%. Tapi ada fakta lain, kontribusi petani masih rendah untuk memenuhi permintaan tersebut,” ujar Indah dalam paparan Sawit Challenge di Jakarta, Selasa (21/6).
Indah mengatakan petani swadaya memerlukan pendampingan dari seluruh stakeholder karena mereka kerap minim informasi soal pengembangan sawit, akses terhadap fasilitas produksi, dan implementasi praktik-praktik berkelanjutan.
Sementara itu, Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto meyoroti ada sejumlah persoalan yang menjadi penyebab kurang berkembangnya petani swadaya di dalam negeri. Faktor yang paling menentukan, menurutnya, adalah akses terhadap finansial atau pendanaan.
Darto mengatakan minimnya akses terhadap pendanaan ini berdampak panjang, terutama menyulitkan petani dalam membeli fasilita sproduksi seperti benih dan pupuk. Saat ini, produktivitas rata-rata petani swadaya hanya 12-13 ton tandan buah segar (TBS) per hektare per tahun
Produktivitas tersebut jauh dari rata-rata produktivitas kebun plasma dan kebun inti yang bisa mencapai 28 ton TBS per tahun.
“Banyak petani yang sulit mendapat pendanaan langsung dari perbankan karena mereka tidak memiliki sertifikat tanah. Tantangan itu lalu menjadi soal akses, seperti akses terhadap pupuk, bibit, dan akses informasi yang relevan untuk mereka,” jelas Darto.