BISNIS.COM, JAKARTA--Sedikitnya 12 aktivitas bisnis terpenting pada petani kecil kelapa sawit berpotensi dibiayai oleh pelbagai penyandang dana terkait dengan upaya peningkatan produktivitas pada komoditas tersebut secara berkelanjutan.
Hal itu terungkap dalam Survei Diagnostik Petani Kecil Kelapa Sawit yang dilakukan International Finance Corporation (IFC) yang diperoleh Bisnis pada pekan ini. Survei itu dilakukan terhadap 1.069 petani kecil di Riau, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Untuk survei tersebut IFC menggandeng lembaga asal Belanda, di antaranya adalah Aidenvironment, GSA dan Triodos Facet.
Tujuan survei itu di antaranya adalah mengevaluasi sistem produksi kelapa sawit di pelbagai lokasi tersebut. Laporan itu membagi tiga sektor investasi yang dibutuhkan petani kecil dengan pelbagai kegiatan yang dibutuhkan untuk dibiayai. Tiga bagian investasi itu terdiri dari tiga hal yakni jangka pendek pada perkebunan, jangka panjang pada perkebunan dan lingkungan yang mendukung.
"Setiap kebutuhan investasi, baik pada kebun maupun level institusi, menyaratkan mekanisme pembiayaan yang spesifik dan penyandang dana yang spesifik pula," demikian salah satu kesimpulan laporan tersebut, di Jakarta, Minggu, (16/6).
Aktivitas terpenting pada jangka pendek adalah kebutuhan pupuk, tenaga kerja, transportasi untuk tandan buah segar, dan perawatan infrastruktur perkebunan. Sedangkan penyandang dana potensial dari aktivitas itu adalah dari produsen sawit (pupuk, buruh, transportasi dan perawatan); pembeli minyak sawit (pupuk); koperasi (transportasi), pemerintah dan lembaga donor (pupuk, buruh, transportasi dan perawatan).
Investasi jangka panjang adalah sertifikasi kepemilikan lahan, rehabilitasi dengan pupuk dan perawatan, penanaman kembali, dan infrastruktur. Investor potensial adalah produsen sawit (sertifikasi lahan, rehabilitasi, penanaman kembali dan infrastruktur perkebunan); pemerintah dan lembaga donor (rehabilitasi, penanaman kembali dan infrastruktur perkebunan).
Terakhir adalah lingkungan yang mendukung yakni adanya infrastruktur non-perkebunan, bantuan teknis, produksi dan kapasitas distribusi, serta sertifikasi dan akses pasar. Investor potensial dalam hal ini adalah produsen sawit (bantuan teknis dan akses pasar); pembeli minyak sawit (produksi dan kapasitas distribusi); koperasi (bantuan teknis dan akses pasar), bank dan lembaga keuangan (bantuan teknis dan akses pasar) serta lembaga donor (seluruh aktivitas).
"Hambatan utama pembiayaan tampaknya pada akses keuangan, dibandingkan dengan biayanya," demikian laporan tersebut. “Petani swadaya jarang memiliki pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan kebun atau penanaman kembali.”
AKSES TEKNOLOGI DAN PERBANKAN
Achmad Surambo, peneliti Sawit Watch, menanggapi studi tersebut dengan mengatakan selama ini masalah yang terjadi pada petani kecil kelapa sawit adalah tidak adanya transfer teknologi serta akses keuangan ke perbankan. Upaya yang dilakukan pemerintah dan perusahaan, paparnya, tidak menjadikan petani kecil menjadi lebih berdaya dan mandiri.
Achmad mengungkapkan selama ini petani juga selalu membeli pupuk yang mahal dan seringkali tidak tepat waktu. Sedangkan khusus perbankan, katanya, tak ada yang memiliki produk pinjaman yang tepat pada petani kelapa sawit yang rata-rata memanen hasilnya 4 tahun sejak penanaman.
“Pemerintah seharusnya dapat menyediakan kredit yang tepat dan distribusi pupuk tepat waktu. Jika dua hal itu dapat dilakukan, maka produktivitas petani kecil juga akan meningkat,” katanya.
Di sisi lain, masalah lain soal kelapa sawit juga terkait dengan ekspansi lahan skala besar. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyatakan tujuh negara produsen kelapa sawit di Asia Tenggara terlibat konflik agraria dengan pencaplokan tanah besar-besaran hingga penggusuran paksa. Indonesia memiliki area perkebunan terbesar hingga mencapai sekitar 10 juta hektare.
Sedikitnya, kini terdapat 16 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara, dengan 80% perluasan itu dilakukan dalam 15 tahun terakhir. Elsam mencatat, mengutip data Forest Peoples Programme pada 2011, Indonesia memiliki luas perkebunan terbesar. Peringkat itu disusul masing-masing oleh Malaysia (4,6 juta hektar), Papua New Guinea (0,5 juta hektar), Thailand (644.000 hektar). Kamboja (118.000 hektar), Filipina (46.608 hektar) dan Vietnam (650 hektar). (asa)