Bisnis.com, JAKARTA— Kalangan pengembang menyayangkan sikap keberatan yang masih ditunjukkan sejumlah pemerintah daerah untuk merealisasikan kemudahan investasi bagi produk dana investasi real estate atau DIRE.
Ketua DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy mengungkapkan, kalangan pengembang sangat berharap ada pengertian baik dari pemerintah daerah untuk meringankan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari maksimum 5% menjadi 1% bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE.
Saat ini, sosialisasi kepada pemda masih terus berjalan, tetapi sejauh ini belum ada pemda yang menyepakati penurunan tarif BPHTB menjadi 1% sesuai yang diharapkan pemerintah pusat.
Eddy menilai, penolakan oleh pemda tersebut hanya semata-mata karena belum adanya kesepahaman terkait manfaat DIRE bagi pendapatan daerah. Pemda masih mengira ada kerugian yang akan diderita daerah bila menurunkan tarif BPHTB bagi DIRE.
Padahal, bila tarif tidak diturunkan, pemda malahan tidak akan mendapatkan apa pun sebab pengembang enggan melepas asetnya menjadi DIRE karena imbal hasilnya menjadi tidak menarik.
Sebaliknya, bila BPHTB khusus DIRE diturunkan, pemda masih akan mendapatkan pemasukan 1% dari nilai DIRE dan juga potensi pajak jangka panjang dari proyek-proyek baru yang diluncurkan pengembang dengan memanfaatkan modal yang diperoleh dari DIRE.
“Ini hanya perlu sosialisasi dan pemahaman saja. Penurunan ini tidak ada pengaruhnya terhadap pendapatan yang selama ini sudah mereka dapat. Malahan, kalau ini jalan, mereka akan dapat tambahan pemasukan,” katanya kepada Bisnis pekan lalu.
Eddy mengatakan, selama belum ada kepastian terkait relaksasi pajak DIRE, pengembang tidak akan terlalu berminat untuk melepas asetnya ke dalam instrumen investasi DIRE dalam negeri.
Eddy sebelumnya mengatakan, bila kebijakan keringanan pajak DIRE dapat cepat dieksekusi, pengembang seharusnya dapat mulai bergerak cepat di kuartal ketiga tahun ini untuk menggeliatkan instrumen investasi ini.
Namun, melihat progres yang relatif lambat, kemungkinan instrumen investasi ini baru akan cukup aktif dikembangkan mulai tahun depan.
Selain itu, pengembang juga masih butuh waktu lebih panjang untuk membenahi unit propertinya agar dapat memenuhi tuntutan pasar bagi imbal hasil DIRE sebesar 9%.
Head of Advisory Jones Lang LaSalle (JLL) Vivin Harsanto mengatakan, properti komersial yang dapat menghasilkan imbal hasil sebesar itu masih sangat terbatas, apalagi di tengah situasi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih.
Oleh karena itu, tuturnya, sepanjang tahun ini kalangan pengembang baru akan menanggapi insentif pemerintah tersebut melalui pembenahan manajemen aset properti mereka. Bila pengembang dapat bergerak cepat, baru pada kuartal IV-2016 realisasi penerbitan DIRE akan mulai menggeliat.
“Untuk aset itu diperbaiki performance-nya atau yang sudah bagus pun butuh waktu bagi si pemilik untuk membenahi dan memasukkannya dalam SPC [special purpose company] yang akan terbitkan DIRE itu, sehingga kami melihat manfaatnya belum cepat terasa,” katanya belum lama ini.
Vivin mengatakan, kehadiran DIRE patut disambut baik sebab akan turut memacu peningkatan kualitas aset-aset properti Tanah Air. Selain itu, aktivitas pengelolaannya menjadi lebih transparan dan profesional.
“Ini memberi kesempatan bagi investor individual untuk berpartisipasi dalam pasar properti,” katanya.