Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menuding ada pihak yang sengaja menetapkan standar industri sawit yang merugikan petani kecil.
“Ketika petani, pekebun mengeluh karena dianggap memakai standar tidak baik, malah ada pihak yang mengambil langkah-langkah untuk menetapkan standar sendiri,” ujarnya dalam acara Skema Inovasi Rantai Nilai Sektor Agro di Jakarta, Senin (23/5/2016).
Darmin mengakui saat ini perkebunan kelapa sawit Indonesia masih menghadapi stigma negatif dari pasar internasional. Korban utama adalah petani kelapa sawit yang dituduh tidak melakukan praktik perkebunan secara berkelanjutan.
Sayangnya, ujar mantan Direktur Jenderal Pajak ini, dalam kondisi seperti inilah ‘standar baik’ itu ditetapkan. Namun, Darmin enggan mengungkapkan siapa pihak yang dimaksudkannya.
“Saya tidak akan sebut nama. Seharusnya bantulah petani agar menerapkan standar yang baik itu,” ucap mantan Gubernur Bank Indonesia ini.
Di acara yang sama, Menteri Perindustrian Saleh Husin meyakini tata kelola perkebunan kelapa sawit di Tanah Air sudah memenuhi kaidah-kaidah berkelanjutan.
Kementerian Pertanian, misalnya, telah meluncurkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Oleh sebab itu, Saleh menyayangkan isu yang menyebutkan bahwa tandan buah segar (TBS) petani ditolak oleh pabrik pengolahan minyak sawit mentah (CPO).
Dia memastikan pemerintah akan membina petani mandiri untuk mengadopsi praktik berkelanjutan sekaligus mendongkrak produktivitas mereka.
“Pemerintah akan melakukan pembinaan kepada petani mandiri yang produktivitasnya rendah dibandingkan petani plasma. Baik karena teknik budi daya, bibit, pemupukan,” ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana membantu agar sertifikat ISPO mendapatkan pengakuan global.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan KLHK San Afri Awang mengungkapkan Kementan tertarik mengadopsi skema sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang berlaku di industri kehutana.
Berbeda dengan SVLK yang telah diakui global, ISPO masih berjuang memenuhi standar internasional.
“Surat dari Direktur Jenderal Perkebunan Kementan sudah meminta kami memberikan pembelajaran soal SVLK untuk mengembangkan ISPO,” ujarnya.
Awang mengatakan belum diakuinya ISPO membuat pelaku usaha harus tetap mengurus sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang menjadi standar global.
Padahal, bila ISPO sudah diakui, pelaku usaha perkebunan kelapa sawit tidak perlu lagi mengikuti audit RSPO.
“Paling bagus kalau ada protokol antara RPSO dan ISPO bahwa ketika perusahaan sawit distandarisasi dengan ISPO, logo RSPO bisa ikut tampil. Ini sederhana kok, tidak sulit,” tutur Guru Besar Manajemen Hutan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
SVLK mulai berlaku pada Juni 2009 guna memastikan aspek legal kayu berupa asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, hingga perdagangan. Sebelum berlaku, pemerintah bersama pelaku usaha dan lembaga swadaya masyarakat menyusun skema SVLK sejak 2003.
Pada 2014, Uni Eropa dan Indonesia meratifikasi Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang mana SVLK akan diakui sebagai lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT).
Dengan lisensi tersebut, produk kehutanan Indonesia bisa bebas masuk 28 negara Eropa tanpa kena inspeksi.
Pengakuan SVLK sebagai lisensi FLEGT sudah dinyatakan bersama oleh Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, dan Presiden Joko Widodo di Brussels, Belgia, Kamis (21/4/2016).
San Afri Awang mengatakan KLHK siap memberikan asistensi kepada Kementan.
Dia memprediksi ISPO tidak membutuhkan waktu selama SVLK untuk diakui secara internasional. “Kalau sudah pengalaman, mestinya bisa lebih cepat.”