Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri menyiapkan peta kebutuhan tenaga kerja industri nasional untuk membantu pemerintah merencanakan sistem pendidikan vokasi nasional.
Ketua Kadin Rosan Roeslani mengatakan Kadin akan mengambil peran dalam rencana pemerintah mengubah sistem pendidikan Indonesia lebih terarah ke pendidikan kejuruan atau vokasi.
Peran Kadin ditetapkan dalam nota kesepahaman (MoU) antara Rosan, Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri pada pekan lalu.
“Dasar MoU tersebut adalah ketidaksamaan antara hasil pendidikan vokasi dan kebutuhan dunia usaha. Kadin akan memiliki kepentingan agar sinkron,” kata Rosan kepada bisnis, Jumat (29/4/2016).
Rosan menjelaskan Kadin berperan dalam pendataan kebutuhan riil dunia usaha dan memberikan kesempatan magang bagi peserta pendidikan vokasi atau pelatihan.
Daftar kebutuhan tenaga kerja yang dikumpulkan dari pengusaha dan asosiasi bisnis anggota Kadin akan berisi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan di tiap sektor beserta skill yang harus dimiliki tiap pekerja.
Pemetaan kebutuhan tenaga kerja tersebut akan didesain berdasarkan sektor dan lokasi. Fokus kebutuhan tenaga kerja di Sumatra, misalnya, adalah di sektor agribisnis, sedangkan manufaktur menjadi fokus kebutuhan pekerja di Jawa
Perusahaan anggota Kadin nanti juga memberikan kesempatan bagi peserta balai pelatihan tenaga kerja atau siswa sekolah kejuran untuk magang. Program magang diharapkan meningkatkan ketersediaan tenaga kerja siap pakai bagi dunia usaha.
“Kami juga akan berikan asistensi agar skill para pekerja punya standar yang sama. Itu nanti akan disertifikasi hingga mereka punya kesempata kerja di negara Asean lain,” kata Rosan.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan Presiden Jokowi ingin ada perubahan mendasar dalam sistem pendidikan Indonesia dari berbasis pendidikan umum ke pendidikan kejuruan.
“Yang dulunya lebih mengutamakan bersifat general atau umum akan dikhususkan pendidikan yang bersifat kejuruan atau skill,” ujarnya pekan lalu seperti dikutip situs setkab.go.id.
Pramono mengatakan beberapa Balai Latihan Kerja akan direhabilitasi, diperbaiki, dan disertifikasi. BLK juga diberikan kemudahan mendatangkan pengajar eksternal untuk mengajarkan keahlian industri.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajad mengatakan masih ada ketimpangan antara lulusan yang dicetak oleh dunia pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja industri.
Dia mencontohkan ketimpangan antara kapasitas sekolah tinggi teknologi tekstil dan kebutuhan tenaga teknisi di pabrik garmen. Pabrik-pabrik garmen di Jawa tahun ini membutuhkan sekitar 2.000 tenaga kerja teknisi berijazah D2—D4, sedangkan perguruan tinggi teknik tekstil hanya menyediakan 400 lulusan setiap tahun.
Kebutuhan teknisi tersebut tidak bisa langsung diisi oleh lulusan perguruan tinggi jurusan industri lain karena kebanyakan sarjana teknik lain harus menjalani pelatihan lagi karena tidak terbiasa mengoperasikan dan memperbaiki mesin teknis.
“Jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Mereka harus dilatih lagi dan diawasi terus bisa sampai 3 tahun. Apalagi di sekolah yang taunya teori saja,” kata Ade.
Industri garmen saat ini juga membutuhkan sekitar 90.000 operator mesin berijazah SMA/SMK di wilayah Jawa Tengah, khususnya Solo.
Kebutuhan besar tersebut, jelas Ade, diciptakan oleh perpindahan pabrik-pabrik garmen dari wilayah Jawa Barat dan Banten ke Jawa Tengah.