Bisnis.com, JAKARTA – Organisasi internasional menyoroti kesejahteraan dan daya beli para petani kakao di negara-negara produsen, yang tetap terpuruk meskipun harga komoditas tersebut di pasar global cenderung stabil di saat harga komoditas pertanian lain turun.
Laporan yang dipublikasikan organisasi di bawah PBB, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengungkapkan petani kakao hanya memperoleh 6,6% dari total nilai tambah yang telah dikenakan pada setiap 1 ton biji kakao yang mereka jual.
Laporan yang disusun oleh tim Special Unit on Commodities UNCTAD, Samuel K Gayi dan Komi Tsowou tersebut menerangkan bahwa sedikitnya nilai yang diterima petani menunjukkan mereka belum memiliki posisi dalam rantai pasok global komoditas tersebut.
Padahal, petani kecil berkontribusi menghasilkan 80%-90% produksi kakao dunia. Saat ini, produsen biji kakao terbesar dunia adalah Pantai Gading, lalu disusul Ghana, dengan rata-rata volume kakao mencapai 73% dari total produksi global per tahun.
“Meski demikian, secara umum petani kakao di Pantai Gading dan Ghana miskin, sehingga membuat generasi mudanya berpikir dua kali untuk masuk ke bisnis ini. Padahal kebutuhan kakao untuk industri makanan dan minuman semakin tinggi,” ungkap Samuel-Komi melalui laporan yang dipublikasikan awal pekan ini.
Keduanya berpendapat reformasi pasar dibutuhkan pada pasar global yang terkonsentrasi sehingga harga di tingkat petani dapat terkerek dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan mereka.
Laporan tersebut menerangkan meski liberalisasi pasar kakao terjadi pada tahun 1980-an hingga 1990-an, kenaikan harga komoditas tersebut di pasar global tidak memberikan pengaruh signifikan pada harga di tingkat petani.
UNCTAD mencatat pada awal tahun 2000-an, harga biji kakao cukup variatif, berada di rentang US$888-US$1.778 per ton. Harga sempat jatuh 14% ke level US$1.538 per ton pada 2005, sebelum mencapai puncaknya US$3.133 per ton pada 2010.
Pada 2014, harga rata-rata komoditas itu per ton berada di level US$3.064. Samuel-Komi mengatakan harga biji kakao dunia terutama ditentukan oleh korelasi antara harga biji di tingkat petani dan rasio stok di perusahaan.
Selain itu, kondisi produksi di Pantai Gading, situasi iklim, situasi finansial pasar, permintaan, harga energi, dan nilai tukar dolar pun memengaruhi harga komoditas itu.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), Misnawi memprediksi harga komoditas kakao di dalam negeri akan terus stabil di tengah tren perlemahan harga komoditas pertanian global.
RPN memprediksi harga kakao global tahun ini akan berfluktuasi di level US$2,91-US$3,19 per kilogram. Jika situasi pasar komoditas dunia memburuk, harga kakao berpotensi terpuruk hingga ke bawah US$2,9 per kilogram.
“Prospek komoditas ini 10-15 tahun ke depan tetap bagus. Konsumsi dunia tumbuh 7%-8% setiap tahunnya namun pertumbuhan produksi cenderung stagnan di level 3%-5%. Produk kakao berpotensi mengalami shortage,” ungkap Misnawi.
Adapun, Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.