Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah diminta untuk menekan hambatan kerjasama Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang masih dalam pembahasan. Hambatan itu termasuk pada sektor perdagangan mengingat pelemahan ekonomi masih terjadi di benua biru.
Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memperkirakan perekonomian Eropa masih akan tumbuh lamban kurang dari 2% sehingga peningkatan ekspor dalam jangka pendek tidak akan terjadi.
Dia menilai pemerintah perlu mendorong Uni Eropa untuk menurunkan hambatan ekspor dari Indonesia. Hambatan dari sisi tarif seperti produk ekspor utama Indonesia yang dikenai tarif bea masuk lebih dari 10% terutama di produk alas kaki yang menjadi salah satu produk andalan.
Kelapa sawit dan produk turunannya masih mendominasi nilai ekspor Indonesia ke Eropa. Sementara, impor terbesar Indonesia dari Eropa masih banyak produk yang memiliki nilai tambah tinggi seperti barang elektronik, produk susu, dan mobil.
"Kalau kita hubungkan ke pertumbuhan ekonomi, bagaimana itu berdampak ke pertumbuhan ekonomi. Kalau ekspor meluas bisa tumbuh, tapi impor juga berkembang bisa jadi minus," ucapnya dalam konferensi pers, di Jakarta, Rabu (27/4/2016).
Dari sisi nontarif, Eropa cenderung protektif seperti produksi komoditas ekspor dari negera lain tidak boleh merusak lingkungan. Produk manufaktur sangat kecil peluangnya untuk masuk ke Eropa. Menurutnya, peluang besar bisa diambil dari produk bahan mentah yang bernilai tambah rendah.
Faisal mengatakan agenda kerjasama perdagangan bebas seharusnya menjadi basis Indonesia untuk meningkatkan kapasitas menjadi negara industri. Pemerintah harus melakukan percepatan peningkatan daya saing industri manufaktur domestik untuk mengantisipasi serangan impor terutama di produk manufaktur.
"Kerjasama riset dan teknologi yang memiliki linkage dengan pengembangan industri harus menjadi prioritas," katanya.