Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PANAMA PAPERS: Mendamba Transparansi Informasi

Isu Panama Papers belum berhenti bergulir. Nama-nama penting dan berpengaruh dari sejumlah negara yang masuk dalam dokumen tersebut terus menjadi perhatian tak terkecuali negara-negara anggota G20.
Papan nama Mossack Fonseca di Arango Orillac Building, Panama (3/4/2016)./Reuters-Carlos Jaso
Papan nama Mossack Fonseca di Arango Orillac Building, Panama (3/4/2016)./Reuters-Carlos Jaso

Bisnis.com, JAKARTA - Isu Panama Papers belum berhenti bergulir. Nama-nama penting dan berpengaruh dari sejumlah negara yang masuk dalam dokumen tersebut terus menjadi perhatian tak terkecuali negara-negara anggota G20.

Masalah itu juga membuat gerah Panama. Negara yang dituding sebagai salah satu surga pajak  tersebut mencoba bergerak cepat. Presiden Juan Carlos berjanji akan mengadopsi standar pelaporan pajak internasional dan berpartisipasi dalam pertukaran informasi perpajakan pada 2018.

Pada saat mengunjungi Jepang, Selasa (19/4) Presiden Carlos menyatakan Panama akan bekerja sama dengan negara-negara lain untuk memperbaiki transparansi. Dia berharap kerja sama tersebut dapat mencegah praktik ilegal dalam sistem keuangan negara itu.

Selain itu, negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) yang paling ngotot  memberlakukan skema pertukaran informasi direncanakan mengunjungi Panama untuk negosiasi metode khusus untuk saling berbagi informasi.

Kesepakatan untuk bertukar informasi di bidang pajak yang melibatkan 100 negara diprediksi akan terlihat dampaknya pada 2017.

Pengungkapkan ribuan dokumen yang disebut sebagai Panama Papers tidak hanya mengguncang negara itu, tetapi juga negara lain.

Terakhir, isu Panama Papers telah membuat dua orang pejabat negara asal Eropa dan satu pejabat organisasi internasional mengundurkan diri dari jabatannya. Kedua pejabat tersebut adalah Menteri Perindustrian Spanyol Jose Manuel Soria dan Perdana Menteri Islandia Sigmundur Gunnlaugsson.

Pejabat senior federasi sepakbola dunia FIFA Juan Pedro Damiani pun turut mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota komite etik.
 
Meskipun belum terbukti 100% keterlibatannya dalam skandal keuangan tersebut, mereka memilih mundur setelah tak mampu menahan tekanan dari berbagai pihak.Skandal ini telah memancing reaksi dari sejumlah negara.

Selain menunggu data resmi orang-orang yang terbukti melakukan kecurangan pajak dan pencucian uang yang rencananya akan dirilis oleh Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) pada Mei 2016. Otoritas keamanan dan perpajakan di berbagai negara juga telah melakukan investigasi dan pemeriksaan secara mandiri.

Kebijakan reaktif atas kasus Panama Papers ini turut diambil oleh G20 dalam pertemuan negara anggota yang digelar pada 15-17 April 2016.  Dalam pertemuan yang dihelat di Washington tersebut, topik  pena ngan-an indikasi kecurangan pajak yang difasilitasi oleh sejumlah kawasan atau negara, menjadi isu terhangat kedua selain pelambatan ekonomi global.

Dalam pertemuan ini, G20 sepakat mengancam untuk memberikan hukuman kepada negara penyedia tax havens yang tidak mau berbagi informasi terkait para kliennya. Negara-negara surga pajak diharapkan ikut serta dalam komitmen internasional dalam pertukaran
dan keterbukaan informasi perpajakan.

Para menteri keuangan dan pejabat bank sentral G20 dalam keterangan resminya mengatakan, mereka akan bekerja sama dengan OECD, untuk mengidentifikasikan yuridiksi yang tidak kooperatif dalam menjalankan keterbukaan informasi pajak. Rencananya, OECD dan G20 akan menerbitkan hasil identifikasi beserta aturannya pada Juli 2016.

“Kami menyambut baik kebijakan penegakan sistem pajak multilateral seperti ini. Tanpa adanya ketegasan ini, pemberantasan kecurangan pajak tidak akan bekerja,” kata Clark Gascoigne, Wakil Direktur Financial Accountability and Corporate Transparency Coalition, Minggu (17/4/2016).

Dia menambahkan, skema yang dikeluarkan oleh G20 dan OECD ini akan menjawab kebutuhan penegakan hukum yang disepakati secara internasional, terkait dengan kawasan surga pajak.

Rencana pelaksanaan aturan terhadap negara surga pajak ini, mengacu pada standar global yang dikembangkan oleh OECD dan didukung oleh G20.

Standar global ini menyerukan agar, setiap yurisdiksi pajak bersedia untuk berbagi informasi secara tahunan tentang sistem perbankan mereka, termasuk nama dan nomor identifikasi pajak dari pemegang rekening.

Apabila ini resmi diterapkan, maka sejumlah negara yang telah memberlakukan keterbukaan informasi pajak seperti Inggris, Prancis dan Jerman akan mudah untuk mengakses data penduduknya di luar negeri, termasuk di kawasan surga pajak.

Aturan ini diharapkan memancing negara-negara lain yang belum menerapkan keterbukaan dan pertukaran informasi pajak, untuk segera menerapkannya. Baik Prancis, Inggris maupun Jerman telah menjadi negara yang paling aktif untuk memerangi kecurangan pajak di negaranya.

Namun hal berbeda pun diserukan oleh Menteri Keuangan Kanada Bill Morneau. Dia berujar, G20 tak perlu terlalu jauh mengintervensi negara surga pajak dengan aturan dan hukuman baru.

Bill percaya, setiap negara memiliki kebijakan dan skema perpajakan yang ber beda-beda, berikut penanganan terhadap para penggelap pajak. “Saya memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi bahwa kita [G20] tidak perlu untuk sampai ke sana [dalam menjatuhkan hukuman],” katanya.

GELAP & TERANG

Namun, kebijakan ini rupanya mendapat tentangan dari China dan Amerika Serikat (AS). Beberapa orang pejabat yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan, kedua negara tersebut menjadi yang paling tegas mempertanyakan kebijakan itu.

Menteri Keuangan China Lou Jiwei mengatakan, dia tidak menemukan penjelasan lebih detail dari seluruh anggota G20 yang mendukung kebijakan pemberian hukuman bagi negara surga pajak yang tidak kooperatif.

Sejumlah kalangan menduga, tentangan dari China ini tak lepas dari keberadaan Hong Kong sebagai salah satu surga pajak terbesar di Asia.  Juru bicara Kedutaan Besar China di Washington pun enggan memberikan keterangan terkait posisi bertentangan yang diambil oleh China dalam regulasi perpajakan internasional ini.

Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schaeuble memaklumi posisi kontra yang diambil oleh AS terkait dengan kebijakan ini.

Schaeuble menilai AS memiliki sistem perpajakan yang sedikit berbeda dengan negara lain. Dia menyadari, Kongres AS cenderung terlalu konservatif untuk beradaptasi dengan sistem internasional yang dibuat bukan dari AS.

“[Bekerja sama] dengan Amerika Serikat selalu menghadirkan sisi gelap dan terang, tetapi mereka telah cukup membantu kami untuk bergerak maju dalam menghadapi berbagai ma salah internasional,” sindir Schaeuble.

AS memang terkenal sebagai negara yang mampu memberikan fasilitas kerahasiaan yang tinggi dan kawasan bebas pajak bagi warga asing maupun domestik. Selama ini, AS cukup gencar dalam menentang aturan tentang keterbukaan finansial internasional.

Negeri Paman Sama juga aktif dalam memprotes kebijakan Swiss dalam memberlakukan aturan pajak asing yang dikenal dengan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA).

Sebelum rencana pemberlakuan sistem pajak internasional ini di bahas di G20, Pemerintah Panama telah berkomitmen untuk mendukung keterbukaan informasi pajak internasional, setelah skandal Panama Papers menyeruak. (Reuters/Bloomberg)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (20/4/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper