Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu mengintervensi distribusi pangan terutama di luar Jawa supaya harga pangan tidak tinggi. Penurunan harga bahan bakar minyak pada awal April 2016 sebesar Rp500 belum mampu memangkas harga komoditas pokok di konsumen.
Sudaryatmo, Wakil Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan biaya distribusi tinggi yang dibebankan ke konsumen menjadi salah satu pemicu mahalnya harga pangan.
Padahal, harga pangan memiliki kontribusi yang tinggi terhadap inflasi sekitar 30%-35%. Badan Pusat Statistik mencatatkan harga bawang merah melonjak 31,99% dengan andil inflasi 0,16%. Harga cabai merah mengalami kenaikan 20,37% dan menyumbangkan inflasi 0,13%.
“Komoditas pangan sangat sensitif terhadap angka kemiskinan. Ketika pemerintah tidak bisa melakukan stabilisasi pangan akan berdampak ke angka kemiskinan,” katanya, di Jakarta, Senin (4/4/2016).
Dia mencermati biaya distribusi yang dibebankan ke konsumen menjadi tidak adil bagi konsumen yang berada jauh dari sentra produksi pangan, seperti di Indonesia bagian timur. Penyelenggaraan tol laut untuk meminimalisir disparitas harga juga belum berfungsi baik.
Wilayah Indonesia bagian timur yang jauh dari sentra produksi memiliki angka kemiskinan yang lebih tinggi. Kemiskinan relatif tertinggi terjadi di Papua dan Maluku sekitar 22,04% dari jumlah penduduk lokal.
“Papua itu harus membayar sejumlah komoditas itu lebih mahal karena dia dibebankan sejumlah biaya distribusi sebab hampir semua produk pangan sentranya jauh dari Papua. Paling dekat di Makassar,” jelasnya.
Selain itu, YLKI juga menyoroti struktur pasar yang dikuasai oleh beberapa pemilik untuk komoditas pangan tertentu seperti gula dan daging. Sementara, peran Bulog masih terbatas dalam beberapa komoditas pangan saja.