Bisnis.com, JAKARTA - Ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Waduk Jatigede pada sekitar pertengahan Maret 2016, dirinya hanya menghabiskan waktu tak sampai 30 menit di lokasi.
Kunjungan Presiden yang akrab disapa Jokowi itu, untuk memastikan perkembangan proses pengisian air di waduk kedua terbesar di Indonesia, yang saat itu tingkat elevasi air telah mencapai 243 meter dari permukaan, dari total ketinggian 262 meter.
Satu hal yang ditekankan Jokowi dalam sambutannya adalah penuntasan proses pembayaran ganti rugi kepada warga terdampak pembangunan Jatigede. Hingga saat itu, baru 10.924 kepala keluarga (KK) atau sekitar 94% dana ganti rugi senilai Rp680 miliar yang terserap.
Sementara itu, sisanya sekitar Rp8,8 mili-ar untuk 614 KK masih dikonsinyasikan sambil menunggu penetapan pengadilan mengenai ahli waris.
“Dana lahan 100% dari pemerintah pusat dan diselesaikan dengan pendekatan yang baik. Kemarin ada masalah sengketa ahli waris. Insya Allah tahun ini rampung semuanya sehingga Januari 2017 air sudah tertutup pada elevasi maksimal,” ujar Presiden ketika menyampaikan sambutannya kala itu.
Kunjungan ke Jatigede merupakan kunjungan pertama Jokowi ke waduk yang pembangunannya telah dirancang pada dekade 1960-an tersebut. Pengisian air (impounding) waduk itu telah dilaksanakan pada Agustus 2015.
Dalam kunjungan itu, sejumlah pejabat, seperti Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono, Dirjen Sumber Daya Air Mudjiadi turut mendampingi Presiden. Hadir pula Direktur Utama PT Waskita Karya Tbk. M. Choliq.
Sayangnya, keterbatasan waktu membuat Presiden tak sempat berdialog langsung dengan warga pada hari itu. Padahal, masih banyak persoalan sosial yang ada di balik kemegahan waduk dengan luas sekitar 5.000 hektare tersebut.
Salah satunya dialami Iman, petani yang termasuk ke dalam 10.924 KK terdampak. Meskipun dia telah menerima uang ganti rugi atau biasa disebut uang kerohiman dari pemerintah, rupanya ganti rugi itu belum cukup untuk menopang hidupnya setelah pindah dari lokasi genangan.
“Uang ganti rugi sudah kami terima, masalahnya di lokasi baru ini kita beli tanah enggak mungkin bisa sekaligus buat rumah dan untuk sawah,” ujarnya. Menurutnya, tidak mudah mencari tanah pengganti untuk bertani sekaligus tempat tinggal. Pasalnya, lahan yang ada umumnya telah dimiliki oleh perseoran-gan secara turun-temurun.
Di sisi lain, tak banyak orang yang rela melepas area persawahan yang mereka miliki saat ini. “Jadinya, ada yang beli rumah, tapi bertaninya numpang di desa tetangga. Jaraknya itu jauh sekali, jadi masalah baru buat kami,” ujarnya.
MASALAH KOMPLEKS
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Mudjiadi mengungkapkan, pembebasan lahan di Waduk Jatigede adalah hal yang kompleks. Menurutnya, uang ganti rugi pertama kali diberikan kepada warga sejak dekade 1980-an.
Akan tetapi, berhubung konstruksi fisik baru dimulai pada 2007, warga yang mengira pembangunan waduk tak jadi dilakukan tak kunjung pindah dari lokasi proyek. Akibatnya penyelesaian ganti rugi yang mulai kembali dilakukan pada dekade 2000-an hingga saat ini harus menyelesaikan sengketa ahli waris karena persoalan pembebasan lahan telah berlangsung berlarut-larut.
“Pembayaran ganti rugi sudah sekitar 94%, masalahnya ada beberapa sekitar 450-an kepala keluarga dobel namanya. Kami tunggu penetapan waris dari pengadilan agama,” ujarnya.
Dia menambahkan hingga kini pembangunan fisik telah berjalan 97%. Sisa konstruksi yang belum bisa dilakukan berupa jalan akses melingkar di desa di sekitar waduk. Proses pembangunannya terkendala pembebasan lahan. Untuk sementara, pemerintah membangun jembatan sementara (bailley) untuk akses warga terdampak.
Namun, konstruksi jembatan ini pun belum selesai. Akibatnya, warga harus menempuh jalan yang memutar sambil menunggu konstruksi jembatan tuntas. “Mudah-mudahan akhir bulan ini jembatan terpasang sehingga akses alternatif jalan tetap bisa dipakai sambil menunggu pembebasan lahan untuk dibangun,” ujarnya.
Selesainya konstruksi Waduk Jatigede ini bukan berarti selesai pula dampak sosial dan budaya yang diakibatkan oleh pembangunan proyek itu. Masih ada setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah agar semua warga khususnya warga terdampak merasakan langsung manfaat dari pembangunan yang telah merebut kehidupannya di kampung halaman. ()