Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BREXIT, Saat Suara Pengusaha Diperebutkan

Para pelaku pasar akan benar-benar memanfaatkan momentum perdebatan antara pendukung dan penolak Brexit, untuk meraih keuntungan dari pergerakan poundsterling.
John Longworth. /Reuters
John Longworth. /Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Menjelang pelaksanaan referendum terkait keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) pada 23 Juni 2016, isu ekonomi muncul sebagai komoditas yang paling laris untuk dibahas dan ‘digoreng’. Masing-masing kubu kompak saling mengklaim bahwa para pemimpin bisnis mendukung pilihan mereka.

Baru-baru ini, kelompok pendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) yakni Vote Leave mendeklarasikan bahwa pilihannya telah didukung oleh 250 pemimpin bisnis terkemuka di Inggris.

Kelompok tersebut mengklaim bahwa mantan CEO HSBC Michael Geoghegan, pemilik Better Capital LLP John Moulton, pendiri Carphone Warehouse Group Plc. David Ross dan pemilik JD Wetherspoon Tim Martin, telah menjadi bagian dari 250 pengusaha yang menyatakan dukungannya terhadap Brexit.

John Longworth disebut akan menjadi pemimpin divisi bisnis dalam Vote Leave, setelah dia mengundurkan diri dari British Chambers of Commerce. Dia disebut sebagai salah satu pihak yang kecewa dengan keanggotaan Inggris dalam UE selama ini.

Dia juga menjadi salah satu orang yang menuduh Perdana Menteri Inggris David Cameroon telah secara sengaja mendorong masyarakat Inggris bertahan di UE. Oleh karena itu, dia memilih untuk keluar dari British Chambers of Commerce, demi membebaskan aksinya dalam mendukung Brexit.

Vote Leave seakan menyadari keempat orang tersebut adalah tokoh paling berpengaruh di jagat bisnis dan usaha di Inggris. Kehadiran mereka diyakini akan mendongkrak popularitas kubu pendukung Brexit, di tengah masifnya dukungan agar Inggris bertahan di UE.

CEO Vote Leave Matthew Elliot berharap dukungan dari 250 pemimpin bisnis agar Inggris meninggalkan UE akan menjadi lawan sepadan terhadap gencarnya penggalangan dukungan agar Inggris tetap di dalam organisasi regional kawasan tersebut, termasuk penggalangan dana yang dilakukan Perdana Menteri.

“Dukungan dari 250 pebisnis ini akan semakin menegaskan bahwa Brexit memiliki potensi yang baik bagi perusahaan multinasional besar maupun usaha kecil,” kata Elliott, Sabtu (26/3/2016).

Deklarasi yang dilakukan oleh Vote Leave ini seakan menjadi bukti dari ucapan Walikota London Boris Johnson di hadapan parlemen Inggris, pekan lalu. Kala itu Johnson mengakui telah berbincang dengan sejumlah bankir kenamaan di Inggris. Menurut dia, sektor keuangan dan perbankan Inggris sangat mendukung aksi keluarnya Inggris dari UE.

Johnson mengatakan dia dan para pengusaha tersebut sepakat bahwa industri keuangan London akan berkembang dengan pesat apabila Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa (UE) dalam referendum 23 Juni 2016.

Dia sendiri mengakui bahwa pesan tersebut disampaikan kepada Parlemen Inggris, sebagai aksi serangan balik terhadap upaya Cameron yang ingin menjaga Inggris tetap di UE. Dia menyebutkan keputusan untuk tetap di UE adalah keputusan yang dangkal dan tak beralasan.

“Saya berbicara dengan sejumlah bankir, dan mereka yakin keluarnya Inggris dari UE tidak akan merusak posisi London sebagai pusat perekonomian kawasan ini,” katanya, Rabu (23/3).

Namun, klaim sepihak dari Vote Leave ini rupanya tak sepenuhnya benar. Surat kabar terkenal Sunday Times menulis bahwa John Caudwell, pendiri Phones4U dan David Ross, pendiri Carphone Warehouse Group Plc. menyatakan tidak ikut serta dalam daftar 250 pengusaha pendukung Brexit.

“Anda harus mempertanyakan keabsahan data ini dan bagaimana daftar ini disusun oleh mereka [Vote Leave],” kata  juru bicara Caudwell, Sabtu (26/3).

Selain merilis dukungan dari 250 pebisnis di Inggris, Vote Leave juga menunjukkan hasil survei yang dilakukan oleh YouGov kepada 1.000 pengusaha menengah dan kecil di Negeri Ratu Elizabeth. Menurut YouGov, hanya 14% responden yang setuju Inggris tetap di UE.
Tak Kalah Kuat

Namun demikian, klaim dari kubu pendukung Inggris untuk bertahan di UE juga tak kalah kuat. Pada Februari, lebih dari sepertiga perusahaan terbesar Inggris, termasuk perusahaan minyak raksasa Shell dan BP serta perusahaan telekomunikasi BT, menyatakan bahwa Brexit akan menempatkan sektor tenaga kerja dan investasi dalam posisi yang sangat rentan risiko.

Senada, Federasi Industri Inggris (CBI) telah menyatakan bahwa pihaknya akan menolak Brexit. Pasalnya, dalam jajak pendapat internal yang dilakukan kepada 773 responden, 80% di antaranya memilih tetap di pelukan UE. Total anggota CBI sendiri mencapai 190.000 perusahaan.

Paul Drechsler, Presiden CBI, mengatakan survei tersebut telah mewakili aspirasi kalangan pengusaha di sektor Industri. Dari seluruh responden, 54% di antaranya mewakili pebisnis skala besar, sedangkan 38% lainnya berasal dari kalangan usaha skala kecil dan menengah. Sementara itu, 8% sisanya mewakili kalangan asosiasi perdagangan.

Asosiasi lobi bisnis Inggris, Institute of Director (IoD), juga telah mendeklarasikan bahwa 600 anggotanya siap untuk mendukung Cameron mempertahankan Inggris di dalam UE. Mereka merasa kebijakan pasar tunggal yang ada di UE akan lebih memudahkan bisnis.

Bahkan, langkah Geoghean untuk mendukung Brexit, nampaknya akan mendapat tentangan dari mantan perusahaannya, yakni HSBC. Salah satu perusahaan keuangan terbesar dunia tersebut mengancam akan memindahkan 1.000 lapangan kerjanya dari London menuju Paris apabila Inggris resmi keluar dari UE.

Chief Executive HSBC Stuart Gulliver berujar, selain menghambat kemampuan perusahaan keuangan Inggris untuk beroperasi di Benua Biru, Brexit juga berpotensi mempersulit proses transaksi keuangan dalam jumlah besar antara Inggris dan negara Uni Eropa lainnya dalam bentuk euro. Di sisi lain, Brexit juga berpotensi memengaruhi volume perdagangan di masa depan.

BREXIT, Saat Suara Pengusaha Diperebutkan

Peluang di Balik Debat

Para analis memperkirakan para pelaku pasar akan benar-benar memanfaatkan momentum perdebatan antara pendukung dan penolak Brexit, untuk meraih keuntungan dari pergerakan poundsterling. Para pemain dana hedging disebut menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan kondisi ini.

Poundsterling diperkirakan akan terus menguat apabila Inggris tetap bertahan di UE. Sebaliknya, mata uang negara tersebut akan anjlok bila Brexit terwujud dalam referendum nanti. Poundsterling sendiri pekan lalu telah jatuh ke posisi terendahnya sepanjang tahun ini, akibat aksi dari Vote Leave.

“Ada banyak kepentingan di sekitar Brexit, terutama terkait jumlah dana dari Amerika Serikat yang berjumlah cukup besar,” ujar salah satu broker yang enggan disebut namanya.

Undang-undang Inggris sendiri memperkenankan lembaga survei, kelompok dan atau perusahaan untuk melakukan jajak pendapat mandiri. Mereka juga diperbolehkan mempublikasikan hasil jajak pendapat tersebut kepada masyarakat. (Bloomberg/Reuters)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin (28/3/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper