Bisnis.com, JAKARTA—PT Krakatau Steel Tbk. menyatakan rendahnya daya saing industri baja nasional akibat tingginya harga gas alam yang diberikan pemerintah.
Achmad Sofjan Ruky, Komisaris Utama PT Krakatau Steel, mengatakan hancurnya harga baja dunia telah menyebabkan revitalisasi pabrik lama milik KS yang menggunakan direct reduction iron tidak berfungsi, akibat harga jual yang rendah tetapi ongkos produksi utamanya gas sangat tinggi.
“Bagaimana kami mau bersaing dengan produk impor jika harga gas untuk produksi mencapai US$7,30 per MMBTU, sementara pabrik baja di India yang masih menggunakan teknologi seperti KS mendapatkan gas alam seharga US$3,82 per MMBTU,” tuturnya di Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Harga gas alam Indonesia, lanjutnya, juga sangat tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia yang hanya US$4,47 per million metric british thermal unit (MMBTU), Singapura US$4 MMBTU, Vietnam US$4,24 per MMBTU, Myanmar US$5 MMBTU, dan Filipina US$5,43 MMBTU.
“Menurut perhitungan konsultan, KS baru bisa break even point jika harga gas turun menjadi US$5 per MMBTU. Dengan teknologi lama yang kami gunakan saat ini, hanya bisa survive jika harga gas di bawah US$5 per MMBTU,” katanya.
Kendati daya saing industri baja nasional sangat lemah akibat harga gas alam yang sangat tinggi, lanjutnya, pihaknya optimistis pada tahun ini akan terjadi perbaikan.
“Kami sudah bertemu dengan Nippon Steeldari Jepang, Osaka Steel dari Korea Selatan, semua menyatakan tahun ini industri baja akan membaik, seiring dengan pengurangan kapasitas dari China yang tahun lalu over capacity,” tuturnya.