Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku perikanan menilai proyek pengadaan 3.325 kapal penangkap ikan mengabaikan aspek geografis perairan dan sosiologis nelayan Indonesia.
Ketua Umum Perkumpulan Pelaku Perikanan Indonesia (PPPI) Happy Simanjuntak mengatakan proyek tersebut lebih menitikberatkan pada pengadaan kapal-kapal kecil berukuran 5 GT-10 GT. Alhasil, kapal bantuan hanya dapat digunakan nelayan untuk melaut di daerah sekitar pantai.
“Saya sangat khawatir dengan sekian ribu kapal-kapal 5 GT dan 10 GT itu. Padahal penangkapan yang kami inginkan itu justru semakin jauh melaut maka hasilnya semakin bagus pula. Menurut saya ini sebagai kemunduran,” katanya saat berbincang dengan Bisnis.com, Senin (14/3/2016).
Sebagaimana diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan Rp2,5 triliun untuk membangun 3.325 kapal penangkap ikan beragam ukuran. Kapal-kapal tersebut nantinya akan dibagi-bagikan kepada koperasi nelayan seluruh Indonesia.
Dalam rencana awal, kapal yang dibangun berukuran di bawah 5G sebanyak 1.020 unit, kapal 5 GT sebesar 1.020 unit, kapal berbobot 10 GT sebanyak 1.000 unit), kapal 20 GT sejumlah 250 unit. Selain itu akan dibangun pula 35 unit kapal berukuran 30 GT.
Kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti itu telah menunjuk PT PAL Indonesia (Persero) sebagai koordinator sekaligus pelaksana tender hingga pengawasan konstruksi kapal. Perusahan pelat merah itulah yang nantinya memilih sekitar 150 perusahaan galangan kapal di Batam, Jakarta, dan Surabaya untuk mengerjakan konstruksi kapal.
Happy Simanjuntak pesimistis 3.325 kapal dapat menggarap perairan Indonesia secara optimal. Secara teoritis, menurut kalkulasinya, seluruh kapal dapat memaksimalkan potensi laut nasional jika melaut bolak-balik 3-4 kali sehari.
“Padahal, jangan salah nelayan kita itu sekali saja melautnya. Tidak ada nelayan yang ke laut bolak-balik tiga sampai empat kali. Ini kan bukan kayak trayek mikrolet,” kata mantan Direktur Pengawasan Sumber Daya KKP ini.
Pemerintah, imbuh Happy, seharusnya memperhitungkan berbagai aspek sebelum membuat kebijakan. Salah satunya lewat kajian lapangan hingga ke berbagai daerah. Jangan sampai, kapal-kapal tersebut justru tidak dapat terutilisasi karena mendapat penolakan dari penerima bantuan.
“Karena yang kita atur ini bukan ikan lho, tapi manusia. Sosiologis nelayan itu seperti apa harus ada kajiannya, mereka tidak bisa dipaksa,” ujarnya.