Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan bioplastik yang ramah lingkungan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ternyata tidak membuat pelaku industri plastik berniat mengalihkan bisnisnya ke sana.
Sekjen Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan peralihan ke bioplastik tidak menjadi pilihan karena dikhawatirkan terbentur dengan bahan baku pangan, mengingat bahan baku bioplastik menggunakan bahan seperti singkong, minyak sawit, kentang, tebu, jagung, dan lainnya.
“Menurut saya masih lama realisasinya, karena bahan bakunya bioplastik tidak ekonomis. Lagi pula apa nanti enggak berebut sama makanan. Kalau beralih ke bio, bisa-bisa bahan baku pangan 60 persen diserap petrokimia,” katanya kepada Bisnis.com pada Kamis (3/3/2016).
Kepala Pusat Penelitian LIPI Agus Haryono pun menyadari bioplastik sulit diaplikasikan oleh industri akibat bahan baku yang menurutnya bisa lebih mahal hingga dua kali lipat dibandingkan dengan plastik konvensional.
Namun, di satu sisi bioplastik mampu terurai jauh lebih cepat karena terbuat dari bahan terbarukan. Penelitian yang ia lakukan bahkan menunjukkan waktu 8 pekan.
Dia mengatakan bahwa LIPI telah membentuk konsorsium yang terdiri dari 11 institusi yang terdiri dari badan peneliti, universitas, dan satu industri plastik.
“Kalau dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kami belum berkomunikasi. Namun, melalui konsorsium bioplastik, kami sepakat mengembangkan bioplastik. Nanti hasilnya kami berikan ke KLHK,” ujarnya di kantor LIPI di Jakarta pada Kamsi (3/3/2016).
Menurut data LIPI, penggunaan plastik di Indonesia masih relatif rendah, yaitu 17 kilogram per tahun dengan pertumbuhan konsumsi 6%-7% per tahun.
“Dibandingkan Thailand dan Malaysia, Indonesia baru setengahnya. Bahkan dibandingkan dengan Eropa mungkin kita hanya seperdelapannya. Saya melihat kebijakan plastik berbayar ini sebagai pemacu masyarakat agar lebih sadar terhadap masalah plastik, bukan mengurangi pemakaian plastik,” ujar Agus.