Bisnis.com, BATANG- Persoalan agraria yang menimpa sejumlah petani seolah tak ada habisnya. Hal itu pula dialami petani di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Batang, Jawa Tengah.
Awalnya, tanah hak guna usaha (GHU) atas nama PT Perusahaan Perkebunan Tratak (PT Tratak) seluas 89 hektare dipakai untuk perkebunan. Seiring perkembangan waktu, masalah keuangan perusahaan mulai menghambat kinerja pengolahan hasil perkebunan tersebut. Hingga sebagian besar tanah tidak terurus dengan baik, bahkan tidak digunakan sesuai peruntukan.
Namun, masyarakat setempat yang tergolong kurang mampu mayoritas tidak memiliki tanah, ditambah dengan kondisi sosial politik pascareformasi yang sangat berpihak pada rakyat kecil, ikut memicu pengambilalihan lahan garapan oleh masyarakat.
Sejak saat itu terjadi konflik antara perusahaan dan warga. Ketua Kelompok Omah Tani Handoko Wibowo menceritakan saat itu petani tidak terima dan merusak rumah karena merasa diperas PT Tratak.
PT Tratak itu pemenang HGU sekitar 89 ha. Mereka melakukan penelantaran tanah. Petani dimintai 30% pendapatan dari hasil pengolahan lahan itu. Akhirnya ada petani yang disekap selama 1 malam.
“Saat itu saya menjadi pengacara mereka. Saya bilang jangan bayar, karena itu melanggar Undang-undang Agraria No. 5/1960,” cerita Handoko kepada Bisnis.com beberapa waktu lalu.
Perjuangan warga mendapatkan hak milik atas tanah yang semula menjadi hak guna usaha PT Perkebunan Tratak tersebut cukup panjang dan melelahkan. Selama 17 tahun, para petani memperjuangkan haknya.
Wajar saja jika para petani bersorak riang karena akan mendapatkan hak milik tanah dan memanfaatkannya untuk peningkatan kesejahteraan mereka.
“Ini merupakan hasil perjuangan berdarah-darah dan melelahkan dari petani penggarap untuk memiliki dan menggunakan lahan tersebut,” ungkap Plt. Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah Lukman Hakim di sela-sela acara Penyerahan Sertifikat Tanah Petani di Desa Tumbrep, Batang, Kamis (11/2).
Peraturan Pemerintah Nomor 11/2010 tentang Penertiban Pendayagunaan Tanah Terlantar membawa angin segar bagi perjuangan masyarakat. Melalui sejumlah tahapan, tanah di Desa Tumbrep tersebut dinyatakan tanah terlantar dan menjadi tanah cadangan umum negara.
Selanjutnya, tanah dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui program reformasi agraria sebanyak 425 bidang. Sertifikasi lahan itu diharapkan menjadi ruang hidup yang menentramkan dan memakmurkan warga.
“Reforma agraria ini dapat ditiru atau dicontoh kantor pertanahan lain di wilayah Kanwil BPN Jawa Tengah maupun tanah lain di luar Pulau Jawa,” kata Lukman.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan meminta maaf karena proses pengurusan tanah tersebut membutuhkan waktu yang lama. Pihaknya berupaya melakukan penyelesaian tanpa menimbulkan persoalan di kemudian hari sehingga pemanfaatan tanah benar-benar untuk menyejahterakan rakyat.
Pemaknaan tanah tidak hanya pada aspek legalitas. Untuk itu, setiap ada konflik pertanahan, yang ditawarkan pertama kali adalah mediasi. Apalagi tanah yang memiliki riwayat lebih dari 10 tahun.
“Dengan sertifikat ini tidak ada yang bisa mengutak-atik, mengganggu, apa-lagi mengusir. Mudah-mudahan. Menjadi dasar untuk kehidupan bapak ibu yang menenteramkan dan memakmurkan,” terangnya.
DILARANG DIJUAL
Meski sudah menjadi hak warga, Ferry menegaskan, jika tanah program reformasi agraria hingga 10 tahun ke depan tidak boleh diperjualbelikan dengan alasan apapun. Jika dijual, BPN berhak mengambil kembali tanah itu.
Penjualan tanah tersebut boleh dilakukan pada tahun ke-11 dengan syarat dibeli oleh satu dari 425 penerima sertifikat reformasi agraria. Dengan begitu,sertifikat tidak berpindah ke pihak lain.
Dia juga meminta pemerintah daerah dan perbankan ikut mendorong hak atas tanah. Perbankan termasuk Bank Pembangunan Daerah atau Bank Jateng yang telah melakukan kerja sama dengan pemerintah diminta tidak melepas sertifikat tanah reformasi agraria yang diagunkan kepada pihak ketiga.
Bahkan, bank tersebut tidak diperkenankan mengambil untung yang dapat memberatkan petani. Tidak hanya di Batang, saat ini BPN juga tengah menyiapkan program reformasi agraria di enam wilayah lain. Yakni di Kabupaten Pemalang, Garut, Ciamis, Cianjur, Palangkaraya, dan Dompu.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta pemerintah kabupaten untuk ikut mengawasi penggunaan tanah di desa tersebut. Jangan sampai ada tanah yang dijual, sehingga dapat bermanfaat bagi warga.
Tidak hanya itu, pemerintah diharapkan dapat ikut membantu masyarakat antara lain dengan membuat infrastruktur pendukung di kawasan tersebut. Infrastruktur yang dibutuhkan seperti saluran irigasi, embung, dan lainnya.
Menurut Ganjar, selain di Kabupaten Batang, masih ada beberapa persoalan tanah yang mesti diselesaikan. Salah satunya di Kabupaten Kebumen. Ganjar meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang bersama jajarannya untuk bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang ada.
Bupati Batang Yoyok Rio Sudibyo menyatakan kesiapannya membantu masyarakat. Menurutnya, sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk memastikan setelah ada penyerahan tanah ada kemuliaan petani dalam peningkatan kesejahteraan.
Dia menjanjikan infrastruktur untuk petani penggarap segera terbangun dan tertata. Namun dia meminta tanah terse-but tidak disewakan atau dijual. Reformasi agraria di Kabupaten Batang bisa menjadi contoh bagi wilayah lain terutama di luar Jawa. ()