Bisnis.com, JAKARTTA—Direktur Penelitian Center Of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menuturkan pemerintah harus waspada terhadap potensi peningkatan impor di sepanjang 2016.
Seperti diketahui, pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur di tahun ini sehingga arus impor diprediksi akan lebih tinggi ketimbang ekspor.
Dari sisi pasar finansial, dia menilai nilai tukar mata uang tetap akan tertekan terutama Yuan yang masih punya kecenderungan dalam melakukan depresiasi.
Hal itu akan memberikan pelemahan terhadap rupiah sehingga bakal meningkatkan biaya dari sisi tekanan terhadap neraca perdagangan maupun neraca finansial. Kemudian, berlanjut mempengaruhi devisa negara.
“Sejalan dengan ada peningkatan aktivitas dalam negeri yang kita tahu juga banyak membutuhkan komponen impor yang misalkan infrastruktur untuk bahan baku dan penolong industri, manufaktur dan lain-lain, dan juga efek dari Masyarakat Ekonomi Asean yang semakin intensif,” katanya di Jakarta, Jumat (8/1/2016).
Dia meyakini pemerintah masih bisa meningkatkan cadangan devisa dari sektor jasa seperti pariwisata. Menurutnya, beberapa negara seperti China, Thailand, dan Malaysia masih memiliki cadangan devisa besar karena didorong oleh perdagangan internasional dan pariwisata.
“Karena ada tekanan dari sisi impor barang yang meningkat, semestinya yang dilakukan adalah mengimbangi dari sisi yang lain seperti jasa terutama pariwisata. Potensi devisa dari pariwisata semestinya banyak sekali kalau bisa berjalan efektif,” ujarnya.
Seperti diketahui, Bank Indonesia menjamin cadangan devisa Desember 2015 sebesar US$105,9 miliar mampu mencukupi kebutuhan kewajiban pembayaran utang dan kewajiban bayar impor. Cadangan devisa Indonesia itu meningkat US$5,7 miliar atau Rp79,23 triliun (kurs Rp13.900 per dolar AS) dari posisi akhir November 2015 sebesar US$100,2 miliar.
Bank Indonesia memperkirakan posisi cadangan devisa terakhir itu dapat membiayai 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jumlah tersebut juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.