Bisnis.com, JAKARTA - Profesi pedagang kaki lima atau PKL bagi Nur Aini, 45, merupakan pilihan hidup yang harus dia jalani. Setelah keluar dari perusahaan belasan tahun lalu, perempuan dari Kabupaten Kudus itu memutar otak untuk membuka sebuah usaha kecil-kecilan. Berdagang pakaian.
Dengan modal cekak, perempuan paruh baya itu selalu berkeliling dalam menjajakan barang dagangan. Hal itu dilakukan sejak dua tahun terakhir sejak Pemerintah Kabupaten Kudus menyapu bersih PKL yang berjualan di trotoar jalan kabupaten maupun jalan nasional atau di pusat keramaian daerah setempat.
“Jualannya sekarang pindah-pindah, terutama di dekat pabrik-pabrik besar di Kudus,” terangnya saat ditemui Bisnis.com, di sela-sela Hari Jadi PKL ke-2 di Kudus, Selasa (5/1/2016) sore.
Satu hal yang Nur Aini inginkan yakni tambahan modal. Dia menagih janji Bupati Kudus Mustofa yang mencanangkan pinjaman tanpa agunan yang dikenal program Kredit Usaha Produktif (KUP). “Semoga tidak hanya janji. Dan Hari Jadi PKL bukan semata perayaan seremonial tahunan, tapi ada keberpihakan pada nasib pedagang wong cilik,” harapnya.
Bupati Kudus Mustofa menanggapi keluhan permodalan yang dirasakan PKL dengan mengucurkan program pinjaman tanpa agunan dengan plafon Rp5 juta-Rp20 juta, yang bekerja sama dengan perbankan.
Dia berpesan uang pinjaman modal itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis. Bukan sebaliknya, untuk membeli kebutuhan sekunder seperti membeli sepeda motor maupun kebutuhan konsumtif lainnya. “Ini yang harus diperhatikan. Saya minta, jaga kekompakan PKL saat berjualan, bersaing yang sehat.”
Mustofa mengaku tak henti memberikan pembinaan kepada ribuan PKL di wilayahnya. Bagi PKL yang semula berjualan di pusat kota, katanya, diarahkan untuk berjualan di lokasi dekat perusahaan rokok dengan jumlah karyawan ribuan.
Bupati menginginkan kesejahteraan PKL harus semakin maju. Di samping itu, Mustofa berharap pendidikan anak para PKL minimal dapat mengenyam sekolah lanjut tingkat atas. Bahkan, pihaknya menawarkan beasiswa kepada anak PKL yang dinilai kurang mampu dari sisi ekonomi.
Muntoha, Ketua Paguyuban PKL se-Kudus, mengatakan selama ini nasib PKL selalu diperhatikan dengan adanya bantuan gerobak dan pembinaan dari dinas terkait. “Kami menyebut, Kudus itu surganya PKL. Kami dilarang berjualan di pusat kota tapi ada solusi tempat yang ditentukan,” terangnya.
Dia mengatakan PKL yang tergabung dalam paguyuban saat ini berjumlah 600-an orang atau merosot 14% dari tahun lalu. Hal itu bukan lantaran orang enggan jadi profesi PKL. Sebaliknya, kesejahteraan PKL meningkat karena sebagian beralih berjualan di los dan kios.
Bambang Gunadi, Kepala Bidang Pengelolaan Pasar dan PKL Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kudus, menambahkan selama ini petugas menempatkan pedagang ke lokasi yang strategis dengan perusahaan rokok seperti Djarum, Sukun dan sebagainya.
Pihak dinas juga memfasilitasi komunikasi dengan perusahaan bersangkutan untuk mengizinkan PKL berjualan di area pabrik. Data Disperindag Kabupaten Kudus menyebutkan data PKL binaan saat ini ber jumlah 2.600-an orang. ()