Bisnis.com, JAKARTA—Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia meminta pemerintah membuka 100% investasi asing di sektor hulu farmasi guna memperkuat struktur industri serta mengurangi ketergantungan impor bahan baku.
Darodjatun Sanusi, Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi), mengatakan saat ini investasi asing pada industri bahan baku obat dibatasi maksimal 75%. Jumlah mitra lokal yang terbatas menyebabkan investasi di sektor hulu ini lambat.
“Kita beri 100% untuk asing, sehingga industri farmasi di dalam negeri bisa berkembang pesat. Industri hulu ini sulit dicapai oleh pelaku lokal, pasalnya berisiko tinggi, membutuhkan modal besar, teknologi canggih dan sumber daya manusia andal,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (18/12/2015).
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus memberi jaminan bahwa bahan baku obat yang diproduksi oleh investor di dalam negeri dapat diserap oleh program jaminan kesehatan nasional. Tidak adanya jaminan serapan tersebut membuat investasi di sektor hulu kurang diminati.
Investor asing, lanjutnya, menilai pendirian industri hulu farmasi di Indonesia akan kalah bersaing dengan pabrikan luar negeri, mengingat ongkos produksi di Tanah Air lebih tinggi ketimbang negara lain.
Industri farmasi yang dikategorikan sebagai industri strategis nasional membutuhkan kebijakan khusus dari pemerintah. Pasalnya, hingga saat ini pertumbuhan industri farmasi nasional masih di bawah potensi sebenarnya.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia menggenggam 43% pasar Asean, namun, pasar farmasi Indonesia di level regional hanya mencapai 27%. Jika hal ini terus berlanjut, maka pasar dalam negeri akan terus digempur produk impor.
“Jika pemerintah menjamin produk dari industri bahan baku diserap program JKN, ini sudah menjadi insentif. Tanpa kepastian pasar, pendirian industri bahan baku di Indonesia tidak akan terwujud, mengingat nilai keekonomian pendirian pabrik di Indonesia masih rendah,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Umum GP Farmasi Indonesia Johannes Setijono menyatakan industri farmasi Indonesia membutuhkan investasi senilai Rp200 triliun untuk mencapai tingkat kematangan dalam peta jalan pembangunan hingga 2025.
“Industri farmasi itu sangat sensitif dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika pertumbuhan ekonomi nasional stabil sesuai dengan target yang ditentukan, maka CAGR [compound annual growth rate] sektor ini bisa mencapai 20% tiap tahun,” tuturnya.