Bisnis.Com, JAKARTA – Indonesia for Global Justice (IGJ) kecewa dengan keputusan Indonesia yang sepakat dengan proposal Amerika Serikat untuk tidak melanjutkan Mandat Doha dalam menyelesaikan perundingan isu pertanian WTO.
Langkah tersebut dinilai akan berdampak terhadap hilangnya aspek keadilan pembangunan bagi negara berkembang dan terbelakang.
Berdasarkan laporan perwakilan IGJ di Nairobi, Priska Sabrina, seperti yang dikutip Minggu (20/12/2015), dalam detik-detik terakhir perundingan KTM Ke-10 WTO dihasilkan sebuah rumusan yang tidak menghargai kepentingan negara-negara berkembang dan kurang berkembang.
Dalam draf perundingan pertanian disebutkan bahwa solusi permanen akan proposal Cadangan Pangan untuk Kedaulatan Pangan tidak tercapai dan digantikan dengan diperpanjangnya klausul damai sampai KTM selanjutnya.
Pada isu Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) Draft Modality 2008 pada produk pertanian yang dikenal sebagai Rev.4 hilang dan digantikan dengan mekanisme baru yang sangat fleksibel dan jauh dari Mandat Doha.
“Mandat pertanian dalam Agenda Pembangunan Doha (DDA) akan dipetieskan oleh Amerika Serikat (AS). Upaya ini terus ditentang oleh Negara berkembang yang bergabung dalam Kelompok 33 (G33) seperti India, China, Afrika Selatan, Ecuador, dan lainnya. Sayangnya, Indonesia sebagai Koordinator G33 malah mendukung penuh proposal AS, dan meninggalkan G33”, kata Priska,.
Isu perundingan di sektor pertanian, hendak memberikan fleksibilitas pertanian negara berkembang dan negara terbelakang terkait pemberian perlakuan khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment), memperbaiki aturan mengenai penghapusan pembatasan subsidi bantuan pangan dan cadangan pangan publik, serta perhatian terhadap ketahanan pangan dan pembangunan desa.
Priska menilai implikasi dari tindakan tersebut adalah Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan subsidi pertanian demi kesejahteraan petani, yang sejalan dengan semangat Nawacita.
"Bahkan, Negara maju saat ini juga terus mendesakan pembahasan komprehensif terhadap isu baru/Isu Singapura. Indonesia saat ini sudah menjadi gerbong AS yang juga ikut sepakat dengan Isu Baru”, kata Priska.
Research Manager & Monitoring IGJ, Rachmi Hertanti, menilai dukungan penuh Indonesia terhadap Proposal AS di WTO seolah-olah ingin ‘mencari muka’ dengan AS. Saat ini Indonesia memang membutuhkan masuknya investasi Amerika ke Indonesia untuk alasan pertumbuhan ekonomi.
“Memang banyak kepentingan Indonesia saat ini dengan AS, seperti urusan Freeport, hortikultura, hingga desakan bergabungnya Indonesia ke dalam Perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP). Apalagi isi dari Isu Singapura sangat bersinggungan dengan TPP, seperti investasi, pengadaan barang pemerintah, dan aturan persaingan usaha. Tapi akan sangat tidak adil jika Indonesia mengabaikan kepentingan pertaniannya di WTO untuk urusan TPP. Belum tentu TPP akan lebih baik bagi nasib petani kita”, kata Rachmi.
Isu Singapura adalah isu baru yang didorong oleh Negara Maju terkait liberalisasi diluar isu perdagangan seperti isu trade facilitation, persaingan usaha (competition), investasi, dan pengadaan barang pemerintah. Isu Singapura ini ditolak oleh Negara Berkembang sejak tahun 1999.
Menurut Rachmi, memperjuangkan isu pertanian dan menolak Isu Singapura seharusnya menjadi langkah strategis pemerintah.