Bisnis.com, JAKARTA— Pelaku industri padat modal menilai selain penurunan suku bunga acuan, Bank Indonesia harus lebih meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada tahun depan.
Sekretaris Jenderal Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Ridwan Adipoetro mengatakan penurunan suku bunga acuan akan meningkatkan feasibility study investasi baru di Indonesia, sementara stabilitas nilai tukar meningkatkan kepastian bisnis.
“Industri kimia di Indonesia beli bahan baku pakai dolar, sementara jual barang setengah jadi dalam rupiah. Fluktuasi nilai tukar yang sempat terjadi menimbulkan ketidakpastian bisnis akibat rugi kurs yang dialami oleh industri,” tuturnya kepada Bisnis.
Menurutnya, kendati suku bunga acuan tinggi sebesar 7,5% yang ditetapkan BI tidak berdampak signifikan pada industri kimia yang notabene pinjaman perbankan mayoritas dalam dolar Amerika Serikat, tetapi penurunan suku bunga dapat meningkatkan optimisme investasi baru.
Selain itu, industri kimia juga masih membutuhkan kelonggaran transaksi dalam dolar yang masa penundaanya akan berakhir pada Desember tahun ini. Perpanjangan masa penggunaan dolar dalam transaksi di dalam negeri dibutuhkan mengingat nilai tukar rupiah belum sepenuhnya terjaga.
“Kami masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Namun, pada intinya kami setuju dengan program ini,” tuturnya.
Di lain pihak, Business Development Growth Steel Group Jonatan Handojo mengatakan kebijakan suku bunga acuan tinggi yang diterapkan oleh BI tidak berdampak pada realisasi investasi industri smelter Tanah Air.
“Bagi industri kami suku bunga acuan 7,5% tidak berpengaruh, karena pinjaman kami mayoritas dalam dolar yang suku bunganya rendah. Selain itu, produk yang kami hasilnya juga dijual dalam bentuk dolar,” tuturnya.
Kendati demikian, lanjutnya, pengetatan moneter yang dilakukan oleh BI jika dilakukan dalam jangka waktu panjang dapat menekan realisasi investasi dalam rupiah yang berorientasi domestik.