Bisnis.com, JAKARTA--Saya bertemu Kornelis Anto dalam acara Panen Raya pada suatu siang, pertengahan November lalu. Kornelis adalah petani padi dari Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Topi Rea dan baju Songke dikenakannya hari itu. Menjelang tengah hari, perayaan tersebut mulai dipadati ratusan orang. Ada umbul-umbul. Tenda bagi para tamu. Spanduk berisi ucapan selamat datang. Ada pula tujuh traktor berjejer di pinggir jalan. Namun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman belum juga datang.
“Kami mengharapkan dibangunnya jalan usaha tani.” katanya. “Kami harus memikul padi setengah kilometer hingga dua kilometer ke jalan raya.”
Harapan itu tak hanya berasal dari Kornelis. Ada pula Henricus Langgu, Pius Nani dan Remigius Robi. Semuanya petani asal Lembor. Mereka meminta pemerintah bisa membangun jalan tersebut untuk memudahkan pekerjaan. Plus bantuan mesin pembajak hingga alat pengetam padi. Namun, keresahan masih merayap di antara mereka, ancaman pertambangan.
Nusa Tenggara Timur memang dikenal sebagai salah satu wilayah pertambangan mineral macam emas dan mangan.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan provinsi itu memiliki sumber daya mangaan sedikitnya 350.000 ton dan emas mencapai 544.698 ton.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT memaparkan paling tidak terdapat empat kecamatan yang memiliki potensi emas, mangan dan marmer di Kabupaten Manggarai Barat. Mereka adalah Kecamatan Boleng, Kecamatan Komodo, Kecamatan Kuwus dan Kecamatan Sanonggoang. Para petani Lembor yang saya temui siang itu, tak setuju pertambangan menggantikan sawah-sawah mereka.
“Kami menolak tambang di Manggarai Barat,” kata Kornelis.
“Ini daerah irigasi. Pemerintah akan rugi sendiri,” kata Henricus.
Lain di Lembor, lain pula di Kandeman. Sebelum berangkat ke NTT, saya bertemu Cayadi, petani paruh baya dari Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, Jawa Tengah dalam satu unjuk rasa di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Dia melakukan aksinya di depan kantor
Kedutaan Besar Jepang bersama para petani dan aktivis lingkungan lainnya. Jaket hitam dan peci bulat berwarna putih dipakainya pada siang itu. Tangan kanannya memegang alat pengeras suara.
“Saya memohon Jepang jangan mencairkan uangnya. Kami sudah disengsarakan,” kata Cayadi. “Apa pun alasannya, warga tetap menolak pembangunan PLTU.”
Masalah Cayadi mungkin serupa tapi tak sama dengan Kornelis Anto. Di Kabupaten Batang, pemerintah meloloskan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sejak 2011 lalu.
Sebagian besar petani Kandeman kehilangan lahan garapan, sekaligus mata pencaharian mereka. Proyek yang akan berdiri di atas lahan seluas 225 hektar—menggusur area sawah produktif— itu dibangun oleh perusahaan gabungan Indonesia dan Jepang, PT Bhimasena Power Indonesia. Pembangkit listrik itu akan menjadi penghasil energi terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas mencapai 2x1.000 Megawatt.
Saya belajar banyak dari kedua petani itu. Namun, masalah tambang tak sekadar perubahan fungsi lahan.
Perluasan modal, saya kira, adalah bagian penting dari persoalan tambang. Ekspansi perusahaan tambang secara global, selain dipompa kapital sendiri, juga disokong penuh pembiayaan perbankan nasional dan internasional. Hal itu dipaparkan laporan terbaru Fair Finance Guide International (FFGI) dan Bank Track pada awal November.
Studi itu mengungkapkan bagaimana 75 lembaga finansial global—dengan 25 bank teratas dunia— mengucurkan sedikitnya US$931 miliar untuk pembiayaan energi fosil sepanjang 2009—2014. Ini terdiri dari sektor batu bara, minyak dan gas serta pembangkit listrik.
“Ini mengidentifikasi prioritas yang mengkhawatirkan. Bank lebih memberikan dananya ke energi kotor,” kata Alexandre Naulot, Juru Bicara FFGI.
Laporan berjudul Undermining Our Future: A Study of Banks’ Investments in Fossil Fuels and Renewable Energy membongkar bagaimana 25 lembaga keuangan terbesar asal Amerika Serikat, Uni Eropa hingga Asia, turut menyokong pengembangan bisnis energi fosil yang terjadi dalam 6 tahun terakhir. Pembiayaan itu a.l. datang dari Citigroup (U$76,45 miliar); Barclays (US$61,73 miliar); BNP Paribas (US$56,68 miliar); Deutsche Bank (US$53,01 miliar); Mitsubishi UFJ Financial (US$50,04 miliar); UBS (US$38,73 miliar); ICBC (US$27,83 miliar); ING Group (US$22,35 miliar); UniCredit (US$21,18 miliar) serta Santander (US$14,11 miliar).
FFGI dan Bank Track juga menemukan tidak adanya komitmen untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Jika terdapat komitmen, demikian laporan tersebut, maka relatif tanpa makna, karena peningkatan pembiayaan energi fosil jauh lebih tinggi.
Diketahui, proporsi investasi untuk pembiayaan energi terbarukan secara global hanya berkisar 6%—8% sepanjang 6 tahun terakhir, sedangkan alokasi kucuran dana energi fosil mencapai 62%.