Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom memaparkan perbedaan kondisi ekonomi Indonesia pada 2015 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan kondisi ekonomi Indonesia 2014 dan 2015 berbeda dengan kondisi ekonomi Tanah Air di rentang 2009--2013.
Pertama, harga komoditas. Saat ini harga komoditas telah merosot sehingga berdampak pada perekonomian di sejumlah daerah yang masih bergantung pada komoditas.
"Dulu tinggi sekarang harga komoditas rendah sehingga kita lihat ekonomi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi pertumbuhan ekonomi dulu tinggi diatas nasional, sekarang hanya 2% hingga 3%," ujarnya, Minggu (22/11/2015).
Aviliani memperkirakan tahun depan harga komoditas ini belum tentu dapat segera membaik sehingga pemerintah harus memiliki fokus pada daerah yang sangat bergantung dengan komoditas. Pasalnya, apabila pemerintah tidak segera bertindak maka akan berdampak pada angka pengangguran yang meningkat.
"Pemerintah harus punya concern pada daerah yang sangat tergantung dengan komoditas dan belum beralih bekerja yang lain. Kalau tidak pengguran terjadi pada provinsi yang bergantung komoditas. Itu bedanya," kata Aviliani.
Harga komoditas yang merosot ini berdampak pada ekspor Indonesia yang juga turut menurun. Dulu, ekspor Indonesia mengalami peningkatan karena harga komoditas bukan dari sisi volume.
"Sekarang ekspor kita secara volume enggak turun banget tapi karena harga komoditas turun signifikan, maka secara signifikan pula ekspornya rendah," ucapnya.
Sementara itu, untuk impor dikatakan menurun tetapi bila dilihat dari komposisinya yakni 75% merupakan impor bahan baku. Impor bahan baku ini mengalami peningkatan dari sebelumnya 70% di rentang 2009-2013.
Hal ini menunjukkan bahwa munculnya ekspansi dan pabrik baru yang menyebabkan ketergantungan impor menjadi tinggi. "Kalau impornya berkurang bagus enggak? Ya enggak bagus. Kenapa? Karena banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) karena produksi berkurang," tutur Aviliani
Kedua, yakni terkait kondisi nilai tukar rupiah. Saat ini nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS senilai Rp13.500 hingga Rp13.800 ini berbeda pada saat dulu di rentang 2009 hingga 2013.
Pasalnya, pada saat itu Amerika melakukan kebijakan quantitative easing atau cetak uang sehingga mata uang di seluruh dunia terutama negara emerging market mengalami penguatan. "Saat Amerika sudah tidak cetak uang lagi, dana masuk ke Indonesia mulai menurun. Itulah mengapa rupiah melemah," ujarnya
Kendati rupiah melemah, saat ini dana portofolio Indonesia masih tiga kali lipat dari foreign direct investment (FDI). Hal itu membuktikan Indonesia sangat mengandalkan dana jangka pendek. Apabila Indonesia tetap mengandalkan dana jangka pendek ini, maka sangat berat untuk menjaga nilai tukar dan volatilitas nilai tukar pun akan tetap tinggi.
Selain itu, aliran dana masuk atau capital inflow yang menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Indonesia masih mengandalkan dana jangka pendek sehingga volatilitas masih akan sangat tinggi," kata Aviliani.