Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PENERIMAAN NEGARA: Antara Cukai Rokok dan Pembangunan

Tiada hari tanpa merokok bagi Maryono, rasanya seperti menikmati sayuran tanpa garam. Hidup menjadi hambar, kata warga Cipinang, Jakarta Timur ini. Dalam sehari, dia selalu menghabiskan sekitar dua bungkus rokok.
Ilustrasi merokok
Ilustrasi merokok

Bisnis.com, JAKARTA - Tiada hari tanpa merokok bagi Maryono, rasanya seperti menikmati sayuran tanpa garam. Hidup menjadi hambar, kata warga Cipinang, Jakarta Timur ini. Dalam sehari, dia selalu menghabiskan sekitar dua bungkus rokok.

Satu bungkus rokok dia tebus dengan harga sekitar Rp15.000. Hal ini berarti setiap hari dia harus menyisihkan uang sebesar Rp30.000 demi memuaskan hasrat untuk  ngudut tersebut. “Tanpa merokok, saya tidak bisa berpikir dengan tenang dan bisa bekerja dengan baik,” ujar pria yang berprofesi sebagai buruh bangunan ini, Rabu (10/11/205).

Pendapat ini diamini Slamet Widodo. Meski tidak sesering Maryono, pria yang berprofesi sebagai pedagang ini mengaku setiap hari selalu menyisihkan uang untuk membeli sebungkus rokok. Rokok dan segelas kopi hitam, menurutnya, selalu mengawali hari-harinya, sebelum mulai berdagang makanan.

Namun, tahun depan Maryono, Slamet, dan para perokok di negeri ini harus merogoh kocek jauh lebih dalam karena tahun depan biaya produksi produk dari tembakau itu akan meningkat setidaknya dari tambahan beban cukai dan pajak pertambahan nilai. Konsekuensinya, produsen rokok hampir pasti menaikkan harga jual demi menjaga margin keuntungan.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi memperkirakan, kenaikan harga rokok bisa mencapai sekitar 11% tahun depan. Hal ini didorong oleh pungutan pajak berupa pajak pertambahan nilai hasil tembakau (PPN HT) serta tarif baru cukai 2016.

Kementerian Keuangan menaikkan tarif PPN atas produk hasil tembakau dari 8,4% menjadi 8,7% dan dikalikan dengan harga jual eceran atau HET.  Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau, yang terbit pada 21 September 2015 dan efektif berlaku per 1 Januari 2016.

Penerbitan PMK ini sekaligus mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2001 tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau. Dalam aturan lama itu, disebutkan tarif efektif PPN atas penyerahan hasil tembakau sebesar 8,4%.

Dalam salinan PMK Nomor 174/PMK.03/2015 yang diterima disebutkan, produk hasil tembakau yang dikenakan PPN meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

Tidak hanya pajak, beberapa waktu lalu, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu merilis keterangan tarif baru cukai rokok 2016 di mana rata-rata kenaikan 11,19%. Kenaikan tarif PPN serta cukai sejatinya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Secara umum, Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar ketiga dunia di bawah China dan Brasil.

DANA PEMBANGUNAN

Pemerintah berupaya meraup penerimaan negara sebesar-besarnya agar bisa membiayai berbagai belanja modal seperti pembiayaan proyek infrastruktur. Pasalnya, berdasarkan data Asia Development Bank (ADB), sejak 1998, Indonesia hanya menghabiskan 2%--3% dari produk domestik bruto untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur.

Pada saat yang sama, negara-negara kompetitor Indonesia di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Malaysia menghabiskan setidaknya 6% hingga 7% dari PDB untuk membiayai peremajaan infrastruktur.

Hal ini coba dikejar oleh Indonesia yang tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tentang target pembiayaan infrastruktur mencapai 7% dari PDB atau setara dengan US$425 miliar.

"Ketertinggalan sejak 1998 menyebabkan infrastruktur yang ada di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lainnya,” ujar Steven Tabor, Country Director Asia Development Bank di Indonesia.

Pertanyaannya, akankah berbagai pungutan yang dinaikkan itu bisa mencapai target yang diharapkan sehingga mampu membiayai pembangunan dalam negeri?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (18/11/2015)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper