Bisnis.com, JAKARTA—Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia menyatakan rencana pengenaan tarif senilai Rp200 per kilogram atas impor garam industri dapat meningkatkan ongkos produksi hingga 40%.
Tony Tanduk, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), mengatakan ketimbang mengenakan tarif atas impor garam, pemerintah lebih baik membuat skema penyerapan garam lokal oleh industri dalam negeri.
“Garam ini bahan baku, repot jika dikenakan tarif impor. Lebih baik pemerintah mempercepat ekstensifikasi produksi garam industri secara massal. Karena garam industri berbeda dengan garam konsumsi,” tuturnya, Jumat (30/10/2015).
Di lain pihak, Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik menyatakan rencana pengenaan tarif untuk impor garam oleh pemerintah akan melemahkan daya saing produsen hulu kimia khususnya industri polimer.
Fajar A.D. Budiyono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas), mengatakan jika garam dikenakan tarif, maka industri hilir kimia akan melakukan impor bahan baku seperti polyvinyl chloride (PVC), polyethylene (PE), polypropylene (PP), dan sejenisnya.
“Industri polimer ini turunan produknya banyak. Jika impor garam untuk industri kimia dikenakan tarif maka akan berdampak panjang. pesifikasi garam industri kimia berbeda dengan konsumsi, jika terjadi kebocoran, pengawasan barang beredar yang harus diperketat,” ujarnya.
Berdasarkan kuota impor yang diberikan pemerintah, tahun lalu kebutuhan garam untuk industri kimia menjadi yang terbesar ketimbang sektor lain dengan volume 1,7 juta ton. Kebutuhan garam akan bertambah pada 2017 seiring dengan peningkatan kapasitas produksi PT Asahimas Chemical.
Saat ini kebutuhan garam industri untuk Asahimas mencapai 850.000 ton per tahun. Dengan peningkatan produksi kostik soda dari 500.000 ton per tahun menjadi 700.000 ton per tahun, vinyl chloride monomer (VCM) dari 400.000 ton menjadi 800.000, dan PVC dari 300.000 ton menjadi 550.000 ton per tahun yang menelan investasi US$400 juta membutuhkan tambahan garam sekitar 800.000 ton.